Purbaya Ungkap Sebab Krisis Moneter 1997-1998, Ungkit Ekonomi Era SBY & Jokowi
- [tangkapan layar]
Jakarta, VIVA – Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, membeberkan sejumlah faktor yang menurutnya menjadi penyebab terjadinya krisis moneter di Indonesia pada medio 1997-1998 silam. Hal itu diutarakan Purbaya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, terkait Pengantar Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Tahun 2026.
Dia menceritakan, krisis itu mulanya berawal dari beberapa negara di kawasan Asia, hingga kemudian memunculkan istilah Krisis Keuangan Asia 1997. Meskipun sebelumnya lebih dulu menerpa Thailand hingga Korea, namun akhirnya Indonesia turut merasakan dampak buruk yang cukup memukul telak perekonomian nasional kala itu.
Guna mendalami masalah tersebut, kala itu Purbaya mengaku melakukan analisis dengan mengacu pada pengalaman krisis di Amerika Serikat (AS) pada 1930, yang juga telah dianalisis oleh berbagai ekonom-ekonom peraih Nobel.
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa rapat perdana dengan DPR
- ANTARA/Imamatul Silfia
"Di buku moneter itu, ada pemenang Nobel yang bilang bahwa waktu krisis mereka debat bunga di-nol-kan, tapi kok masih krisis? Rupanya waktu itu walaupun suku bunga nol, tapi uang vitamin yang di sistem perekonomian itu negatif, jadi ekonominya dicekik," kata Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu, 10 September 2025.
Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa
- Biro Pers Sekretariat Presiden
Dia mengatakan bahwa kondisi ekonomi AS kala itu masih tidak mampu bergerak, karena peredaran uang primer (base money) justru sedikit. Hingga kemudian, kondisi dan langkah kebijakan serupa juga dialami Indonesia pada periode 1997-1998. Kala itu, suku bunga di Indonesia juga telah dinaikkan untuk meredam tekanan kurs, namun peredaran uang primer malah diperbanyak hingga menyebabkan tekanan inflasi secara signifikan.
"Jadi di tahun 1997 itu kita memang melakukan kesalahan yang fatal. Waktu itu Bank Indonesia menaikkan bunga sampai 60 persen lebih untuk menjaga rupiah. Semua berpikir kita melakukan kebijakan uang ketat, tapi kalau bunga tinggi mana ada yang pinjam," ujarnya.
Terlebih, kala itu pemerintah diakui Purbaya justru mencetak uang sehingga pertumbuhannya 100 persen dan membuat kebijakan kacau balau. Hal itulah yang menurutnya menjadi awal mula kehancuran perekonomian Indonesia pada 1998. Bahkan, Purbaya menyebut bahwa saat itu Indonesia tanpa sadar telah membiayai kehancuran ekonominya sendiri.
"Kalau kita melahirkan kebijakan kacau, yang keluar adalah setan-setannya dari kebijakan itu. Bunga yang tinggi menghancurkan sektor riil. Uang yang banyak, dipakai untuk menyerang nilai tukar rupiah kita. Jadi tanpa sadar waktu itu kita membiayai kehancuran ekonomi kita sendiri," kata Purbaya.
Meski demikian, Purbaya menegaskan bahwa kekacauan yang terjadi bukan disebabkan karena kelalaian para ekonom Indonesia pada kala itu. Melainkan karena saat itu Indonesia memang belum pernah menghadapi kondisi seperti yang terjadi di AS pada masa 1930-an silam.
"Jadi saat itu kita belum tahu seperti apa kondisinya, dan saya simpulkan kesalahan kita di situ," ujarnya.
Hingga akhirnya, perbaikan ekonomi nasional perlahan mulai kembali dirintis sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan dilanjutkan oleh pemerintahan Periode Joko Widodo (Jokowi).
"Sampai akhirnya waktu itu Pak SBY bisa tingkatkan pertumbuhan (ekonomi) hingga 6 persen, terus diganti ke Pak Jokowi dan (ekonomi nasional) pertumbuhannya sedikit di bawah 5 persen on-average," ujarnya.