K-Pop hingga Gaming Jadi Senjata Rahasia Stablecoin, Indonesia Dibidik
- Koreaboo
Jakarta, VIVA – Fenomena K-Pop, K-Beauty, dan web3 gaming bukan sekadar tren budaya, melainkan bisa menjadi pintu masuk masif bagi adopsi stablecoin di Asia, khususnya Indonesia.
Dilansir dari crypto.news via Indodax, Jumat, 12 September 2025, budaya populer berpotensi menjadi “kuda troya” yang membawa stablecoin masuk ke kehidupan sehari-hari masyarakat global.
Asia saat ini menghadapi lonjakan minat stablecoin seiring diskusi regulasi di Korea Selatan, Jepang, dan China.
Stabilitas, remitansi, hingga e-commerce lintas negara menjadikan stablecoin lebih dari sekadar instrumen keuangan, melainkan infrastruktur perdagangan dan budaya.
Sejak 1983, Hong Kong telah mematok mata uangnya ke dolar AS (US$ peg). Tradisi ini mencerminkan “logika stablecoin” yang sudah lama tertanam di Asia.
Ditambah kehadiran superapp seperti LINE, Kakao, dan WeChat, masyarakat Asia terbiasa bertransaksi tanpa tunai.
Infrastruktur digital ini membuat stablecoin lebih mudah diterima, karena fungsinya mirip dengan sistem cashless yang sudah akrab di kawasan ini.
Asia Tenggara menjadi salah satu wilayah dengan pengguna stablecoin paling aktif, terutama lewat remitansi.
Melansir data Chainalysis dan Footprint Analytics via Indodax mencatat bahwa pada Mei 2025, Asia Tenggara resmi melampaui kawasan lain dalam jumlah pengguna web3 gaming wallet harian.
Empat negara terdepan adalah Vietnam (12,8 persen), Filipina (11,4), Thailand (7,3), dan Indonesia (4,6), dengan total lebih dari 15 juta wallet aktif per bulan.
Bagi pekerja migran, stablecoin menawarkan transfer lintas negara yang lebih cepat dan murah dibandingkan layanan remitansi konvensional.
K-Pop, Gaming dan E-Commerce
Korea Selatan tengah mengkaji penerbitan stablecoin berbasis Won. Menariknya, pembahasan ini tidak hanya sebatas keuangan, tapi juga terkait ekspor budaya. K-Pop, K-Beauty, hingga fesyen dipandang bisa diperdagangkan secara global menggunakan stablecoin.
Fans di Amerika Latin, misalnya, dapat membeli produk K-Pop atau K-Beauty dengan lebih mudah lewat stablecoin, tanpa hambatan konversi mata uang atau keterbatasan sistem pembayaran tradisional.
Seorang desainer di Seoul, Korea Selatan, bisa langsung menerima USDT, menukarnya, atau membelanjakannya tanpa harus melalui Stripe, bank internasional, atau biaya tukar mata uang.
Hal ini menjadikan stablecoin sebagai jembatan perdagangan budaya Asia ke pasar global.
Regulasi jadi penentu
Meski infrastruktur dan budaya siap, regulasi masih menjadi penghalang. Korea Selatan telah menguji sandbox stablecoin, di mana turis bisa menarik aset kripto lewat ATM, tapi warganya belum mendapat izin serupa.
Pengamat menilai jika pemerintah tidak terlalu mengekang regulasi, Asia berpotensi melampaui Barat dalam hal adopsi stablecoin. Sebaliknya, overregulasi bisa menghambat potensi ekonomi digital lintas batas ini.