Bisa Bikin Tata Kelola Perusahaan Berkelanjutan, Kesetaraan Gender di Sektor Bisnis Ini Jadi Sorotan
Jakarta, VIVA – Kesetaraan gender ditegaskan merupakan faktor penting dalam menciptakan tata kelola perusahaan yang berkelanjutan. Namun hal tersebut masih kerap menjadi aspek yang terabaikan dalam penerapan environmental, social, and governance (ESG).
Executive Director of the Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) Wita Krisanti mengungkapkan, laporan keberlanjutan yang mencantumkan isu gender mengalami peningkatan di 2024. Namun, peningkatan ini masih sebatas formalitas.
“Sekadar tick the box itu gampang. Saya harus menaikkan standar karena komitmen sudah tinggi, tapi implementasinya masih jadi keprihatinan kami. Commitment is one thing, tapi implementasi jauh lebih penting,” ujar Wita dikutip dari keterangannya, Minggu, 14 September 2025.
Dia mengatatakn, sektor energi menjadi sorotan khusus karena pada 2023 partisipasi perempuan hanya 9 persen. Industri ini masih dipersepsikan sebagai domain laki-laki.
Ia menjelaskan, hambatan struktural muncul dari norma sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama, sementara perempuan dianggap pekerja pendamping atau pengasuh. Norma ini terbawa ke dunia kerja, mulai dari kebijakan pajak, asuransi, hingga stereotip gaya kepemimpinan.
Ilustrasi Kesetaraan Gender
- vstory
“Kalau pemimpin laki-laki tegas, dianggap strong. Kalau perempuan tegas, dibilang galak. Ini masih jadi hambatan besar yang membuat peran perempuan dipandang sekunder,” jelasnya.
Kendati tantangannya besar, sejumlah perusahaan mulai menunjukkan praktik baik. Di sektor pertambangan misalnya, sudah ada perempuan yang mengemudikan kendaraan berat. Hasilnya, biaya perawatan kendaraan menurun karena dirawat lebih baik. Beberapa perusahaan lain pun sudah menyediakan fasilitas penitipan anak (daycare) di lokasi kerja.
Tak hanya itu, dukungan terhadap pekerja perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mulai hadir di level perusahaan. “Perempuan ini kan juga karyawan, jadi perusahaan punya tanggung jawab melindungi mereka,” kata Wita.
Menurutnya, yang masih lemah adalah pengukuran. Banyak inisiatif dilakukan tanpa mekanisme monitoring dan evaluasi yang jelas. Padahal, laporan kemajuan akan membantu perusahaan mengetahui aspek yang masih perlu diperbaiki.
Wita menegaskan pentingnya melihat kesetaraan gender sebagai urusan semua orang. “Kita tidak hanya mengamini, tapi mengimani prinsip gender equality. Awareness (kesadaran) tidak boleh berhenti karena ini bukan perspektif satu-dua tahun,” ujarnya.
IBCWE percaya bahwa integrasi gender dalam ESG bukan untuk membenturkan laki-laki dan perempuan, melainkan menyamakan level playing field. Dengan memberi kesempatan setara, perusahaan dapat mengoptimalkan potensi tenaga kerja sekaligus memperkuat tata kelola berkelanjutan.