Gen Z Tak Sadar Sedang Diawasi! Ada Ancaman Mengerikan di Balik Selfie dan TikTok

Ilustrasi Gen Z.
Sumber :
  • Pexels.com

Jakarta, VIVA – Lahir dan dibesarkan di dunia teknologi yang berkembang pesat, Gen Z merupakan generasi yang paling paham internet, dikenal karena kefasihan digital dan pengaruhnya dalam menentukan tren.

Sejak usia dini, mereka telah membentuk dan mendefinisikan ulang lanskap digital, meninggalkan jejak online jauh sebelum mereka memahami risikonya sepenuhnya.

Namun, saat mereka menjelajahi dunia hiperkonektivitas, media sosial, dan belanja online, ancaman siber pun berkembang dengan cepat.

Untuk mengeksplorasi tantangan tersebut, Kaspersky telah meluncurkan “Case 404” — sebuah game keamanan siber interaktif tempat pemain berperan sebagai detektif AI yang menyelidiki kejahatan digital.

Dirancang khusus untuk Gen Z, game ini membantu pemain mengenali bagaimana kebiasaan online mereka sehari-hari — mulai dari berbelanja hingga berbagi berlebihan (oversharing) — dapat menjadi titik masuk bagi ancaman siber.

Dengan peluncuran game barunya, Kaspersky menyoroti bagaimana penjahat siber mengubah kebiasaan online Gen Z menjadi vektor serangan — dan menawarkan kiat praktis untuk mengubah kewaspadaan menjadi ketahanan digital.

1.    Berbagi berlebihan dan meningkatnya jejak digital 

Bagi Gen Z, berbagi momen kehidupan secara online adalah hal yang lumrah. Platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Snapchat dipenuhi dengan swafoto yang diberi tag geografis, pembaruan harian, dan kisah pribadi.

Namun, berbagi secara terus-menerus ini menciptakan jejak digital yang luas yang dapat dimanfaatkan oleh penjahat siber untuk pencurian identitas atau serangan rekayasa sosial.

Berbagi berlebihan dapat secara tidak sengaja mengungkapkan detail sensitif, mulai dari alamat rumah di latar belakang foto hingga rutinitas yang membuat pengguna dapat diprediksi.

Bahkan, konten yang tampaknya tidak berbahaya, seperti foto pasangan atau hewan peliharaan mereka, dapat memberikan petunjuk untuk pertanyaan pemulihan kata sandi.

2.    Perasaan Takut Untuk Tertinggal (Fear of Missing Out /FOMO)

Takut Ketinggalan (FOMO) mengacu pada kecemasan atau kegelisahan yang muncul karena takut tertinggal atau tidak menjadi bagian dari pembaruan jika mereka tidak mengikuti apa yang dilakukan orang lain di media sosial.

FOMO merupakan pendorong yang kuat bagi Gen Z, yang dipicu oleh pembaruan media sosial tentang peluncuran produk, konser, dan acara. Melihat teman sebaya menghadiri acara, memiliki produk baru, atau mencapai tonggak sejarah dapat menimbulkan perasaan tidak mampu atau dikucilkan.

Baik itu peluncuran iPhone baru, Tur Taylor Swift, atau acara olahraga besar, FOMO dapat mendorong pengguna untuk mengeklik tautan yang tidak terverifikasi yang menjanjikan akses awal atau penawaran eksklusif.

Penjahat siber memanfaatkan urgensi ini dengan membuat skema phishing clickbait, yang mengarahkan pengguna ke situs berbahaya yang mencuri kredensial login atau mendistribusikan malware.

Tiket acara palsu, penipuan pre-order, dan bocornya informasi orang dalam hanyalah segelintir taktik yang digunakan untuk memanipulasi ketakutan ini.

3.    Nostalgia mode Y2K dan budaya awal 2000-an

Bagi Gen Z, yang lahir sekitar atau setelah era ini, mode Y2K merupakan perpaduan antara nostalgia akan masa pra-digital yang lebih sederhana dan keinginan untuk menciptakan kembali gaya tersebut dengan sentuhan modern.

Platform seperti TikTok dan Instagram telah memperkuat kebangkitan Y2K, dengan para influencer yang menciptakan kembali tampilan vintage dan berbagi barang-barang bekas. Tagar seperti #Y2Kfashion dan #Y2Kaesthetic telah ditonton miliaran kali.

Ketertarikan Gen Z terhadap budaya awal 2000-an, mulai dari estetika Y2K hingga permainan anak-anak, telah menghidupkan kembali minat terhadap judul-judul retro seperti The Sims 2, Barbie Fashion Designer, dan Bratz Rock Angelz.

Meskipun permainan-permainan ini membangkitkan nostalgia, pencarian unduhan tidak resmi sering kali mengarahkan pengguna ke situs-situs yang dipenuhi malware.

Cedera Akibat FOMO Olahraga Meningkat, Atlet Butuh Fisioterapi Lebih dari Sekadar Pemulihan

Penjahat siber menargetkan minat khusus ini dengan menanamkan perangkat lunak berbahaya ke dalam berkas-berkas permainan palsu. Apa yang tampak seperti perjalanan menyusuri kenangan dapat mengakibatkan perangkat disusupi atau data dicuri.

4.    Fast Fashion

Studi Terbaru: Gen Z Paling Sering Telat Bayar Cicilan Mobil

Generasi Z menyukai pakaian yang ekspresif, ingin tampil menonjol daripada sekadar mengikuti tren, dan memiliki gaya yang selalu berubah — apa yang populer sebulan lalu mungkin sudah ketinggalan zaman.

Kebiasaan mereka dalam mengikuti tren didukung oleh peritel fast fashion yang menyediakan cara mudah untuk mengubahnya. Misalnya, raksasa fast fashion China Shein, yang disukai oleh Gen Z, menambahkan 6.000 produk baru ke situs webnya setiap hari.

Milenial dan Gen Z Peduli Lingkungan, Yuk Jadi Zero Waste Warrior Sejak Sekarang!

Bagi Gen Z, fast fashion lebih dari sekadar preferensi berbelanja — ini adalah gaya hidup. Merek seperti Shein, ASOS, dan Fashion Nova memberikan keterjangkauan dan kepuasan instan, menjadikannya barang pokok bagi generasi ini.

Namun, daya tarik merek-merek ini hadir dengan sisi gelap. Situs web belanja palsu, kode promo palsu, dan iklan phishing memanfaatkan popularitasnya, dengan membuat tiruan meyakinkan untuk memikat pengguna agar memasukkan detail sensitif mereka.

Semakin tinggi keterlibatan dalam belanja online, semakin tinggi risiko menghadapi situs web palsu dan penipuan phishing yang membahayakan informasi pribadi dan keuangan.

5.    iDisorder

Generasi Z menghadapi fenomena yang disebut iDisorder, yaitu kondisi di mana kemampuan otak untuk memproses informasi berubah karena terlalu sering terpapar teknologi.

Obsesi terhadap teknologi ini dapat mengakibatkan gangguan psikologis, fisik, dan sosial, termasuk depresi dan kecemasan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian publik: satu dari tiga orang berusia 18 hingga 24 tahun kini melaporkan gejala yang menunjukkan bahwa mereka telah mengalami masalah kesehatan mental tersebut.

Itulah sebabnya mereka beralih secara ekstensif ke perangkat digital seperti platform teleterapi dan pelacak kesehatan mental untuk meredakan stres. Namun, platform ini menyimpan informasi pribadi yang sangat sensitif, termasuk kondisi emosional, catatan terapi, dan rutinitas pengguna.

Jika terjadi pelanggaran, data ini dapat dimanfaatkan untuk pemerasan atau phishing. "Berhati-hatilah dengan apa yang Anda bagikan secara online — dan yang terpenting, ingatlah bahwa tetap terinformasi adalah pertahanan terbaik Anda. Keamanan siber bukan hanya tentang menanggapi ancaman tapi tentang memberdayakan diri Anda untuk menjelajahi dunia digital secara percaya diri dan aman," tutur Anna Larkina, pakar privasi Kaspersky.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya