Ngeri, Fenomena Melukai Diri Sendiri Mulai Terjadi di Kalangan Mahasiswa
- pixabay
Aceh, VIVA – Fenomena mencemaskan ditemikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Flower Aceh yang menyatakan mulai menerima aduan mahasiswa melakukan self-harm atau melukai diri sendiri. Aksi ini merupakan bentuk pelampiasan emosi karena tidak kuat menghadapi tekanan kampus maupun keluarga.
“Untuk tahun ini, kasus self-harm yang kami tangani adalah seorang korban yang melukai dirinya sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosional. Ia merasa bahwa rasa sakit fisik dapat mengalihkan rasa sakit emosionalnya,” kata Direktur Flower Aceh, Riswati, seperti dilansir Antara, Kamis 12 Desember 2024.
Self-harm dapat didefinisikan sebagai tindakan melukai diri sendiri secara sengaja, biasanya tanpa niat untuk mengakhiri hidup. Tindakan ini, sering digunakan oleh seseorang untuk mengatasi atau mengalihkan perhatian dari rasa sakit emosional, tekanan, serta perasaan tidak nyaman yang sulit diungkapkan.
Riswati menjelaskan dalam salah satu kasus yang didampingi, korban merasa tidak mampu menghadapi pertanyaan atau tekanan dari keluarga mengenai masa depannya. Hal ini, membuatnya tertekan hingga melukai diri sendiri untuk meredakan beban emosional.
“Berdasarkan pengakuan korban, tindakan tersebut dilakukan setelah mendapati banyak pertanyaan seperti pertanyaan atau tekanan dari keluarga mengenai masa depannya, ada juga karena belum selesai skripsi karena ada tantangan tertentu dari dosen," ujarnya.
Flower Aceh mencatat, pada korban pelecehan dan kekerasan seksual, ternyata pelampiasan emosi korban juga dengan melakukan self-harm. Fakta ini, diketahui ketika mendampingi korban konseling.
Ilustrasi depresi/stres.
- Freepik/jcomp
Sementara itu, Dosen Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry sekaligus Psikolog di Psikodista Konsultan, Iyulen Pebry Zuanny, mengungkapkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku self-harm, terutama di kalangan mahasiswa.
Menurutnya, fenomena ini dapat dimulai dari faktor internal meliputi kepribadian, konsep diri negatif, self control yang lemah, spiritualitas rendah, kemampuan pemecahan masalah atau koping tidak tepat.
Kemudian, daya tahan yang rendah terhadap stres atau tekanan, serta adanya riwayat kesehatan mental seperti kecemasan.
Kata dia, faktor eksternal juga berperan signifikan dalam memicu perilaku tersebut. Seperti karena aturan di kampus, masalah keluarga, pola asuh otoriter, masalah ekonomi, perundungan atau kekerasan di kampus, kurangnya sistem pendukung (support system), hingga pengaruh negatif media sosial.