Ketidakpastian Hukum dalam Skema Buy Back Properti Disorot

Ketua Senat Unkris, Prof. Gayus Lumbuun (Doc: Istimewa)
Sumber :
  • VIVA.co.id/Natania Longdong

Jakarta, VIVA – Dunia pendidikan tinggi kembali menunjukkan kontribusinya terhadap pengembangan sistem hukum nasional melalui hasil riset mahasiswa program doktor.

Cara Kejati Banten Bangun Kesadaran Hukum Sejak Dini kepada Siswa SMK

Bahori Ahoem, mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana (Unkris), mengangkat isu penting dalam disertasinya berjudul, “Kepastian Hukum Jual Beli Tanah dengan Hak Membeli Kembali sebagai Alternatif Pembiayaan pada Perusahaan Jual Beli Properti dalam Upaya Pembaharuan Hukum”.

Disertasi ini dipresentasikan dalam Sidang Terbuka Senat yang dipimpin langsung oleh Ketua Senat Unkris, Prof. Gayus Lumbuun pada Rabu, 21 Mei 2025.

DPR Pede Program 3 Juta Rumah Jadi Stimulus Properti hingga Ciptakan Lapangan Kerja

Ketua Senat Unkris, Prof. Gayus Lumbuun (Doc: Istimewa)

Photo :
  • VIVA.co.id/Natania Longdong

Melalui penelitiannya, Bahori menyoroti praktik jual beli tanah dengan hak membeli kembali (buy back), yang meskipun sering dimanfaatkan sebagai solusi pembiayaan cepat, masih menyimpan persoalan besar dari segi kepastian hukum.

Polisi Ungkap Temukan Senpi serta Amunusinya Saat Geledah Terdakwa Kasus Judol di Kominfo

Gayus menyambut baik topik yang diangkat Bahori, dan menegaskan pentingnya telaah akademik terhadap pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mengatur skema tersebut.

“Dalam kedua pasal tersebut, penjual boleh membeli atau menarik kembali barang yang dijual dengan mengembalikan harga dan biaya yang ditentukan,” kata Gayus dalam keterangannya.

Namun, ia juga menggarisbawahi bahwa ketentuan dalam KUHPerdata seolah menunjukkan ketidakjelasan hukum.

“Menjual untuk membeli kembali sebenarnya sama saja seperti hubungan pinjam meminjam untuk menghindari pajak,” lanjutnya.

Kondisi tersebut, menurut Prof. Gayus, menunjukkan bahwa pasal-pasal yang mengatur tentang jual beli dengan hak membeli kembali masih perlu disinkronkan agar mampu memberikan kepastian hukum yang jelas bagi masyarakat.

“Mudah-mudahan ini memberi pandangan baru bagi para legislator di Senayan atau pemerintah. Karena undang-undang kita, khususnya KUHPerdata, ini kan warisan kolonial yang belum banyak diperbarui,” ujarnya.

Dalam disertasinya, Bahori Ahoem menegaskan bahwa secara praktik dan regulasi, skema ini belum mendapat payung hukum yang memadai. Ia mengkritisi bahwa keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, dan sejumlah Putusan Mahkamah Agung yang inkonsisten semakin memperburuk ketidakpastian hukum terkait jual beli dengan hak membeli kembali.

“Adapun, mengenai perlindungan hukum terhadap jual beli dengan hak membeli kembali tersebut belum ada yang spesifik melindungi para pihak dalam jual beli dengan hak membeli kembali, sehingga banyak terjadi permasalahan-permasalahan terkait hak dan kewajiban para pihak yang diajukan ke pengadilan,” ujar Bahori.

Ia pun mendorong adanya pembaruan hukum yang bersifat komprehensif agar praktik ini dapat diakui dan dilindungi secara hukum. Selain itu, Bahori mengusulkan pentingnya dibentuk lembaga penyelesaian sengketa khusus yang menangani persoalan-persoalan yang muncul dari skema pembiayaan ini.

Melalui riset ini, Unkris menunjukkan komitmennya untuk terus menghasilkan karya ilmiah yang tidak hanya relevan secara akademik, tetapi juga memiliki nilai praktis dalam menjawab persoalan aktual di tengah masyarakat. Penelitian Bahori Ahoem diharapkan menjadi rujukan penting dalam wacana reformasi hukum perdata Indonesia ke depan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya