Tingginya Kematian Ibu Saat Proses Persalinan Terjadi di RS Rujukan?
- Pixabay/Publicdoaminpictures
VIVA – Tidak hanya dari sisi ekonomi dan pendidikan, penurunan angka kematian ibu dan bayi juga menjadi bagian dari tujuan pembangunan berkelanjutan (goal 3 dan 5) serta menjadi parameter bagi kemajuan suatu negara. Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI) terus berkomitmen meningkatkan kualitas layanan kesehatan reproduksi di Indonesia yang tercermin dari parameter angka kematian ibu bayi serta kejadian stunting.
Lewat rilis yang diterima VIVA, Ketua Umum Pengurus Pusat POGI, dr Ari Kusuma Januarto, SpOG(K), mengungkap data terakhir tercatat angka kematian ibu Indonesia sekitar 305 per 100 ribu kelahiran hidup (Susenas tahun 2015) dan angka kematian bayi 24 per 1.000 kelahiran bayi pada tahun 2017. Hal ini berarti setiap tahun tercatat kurang lebih 15 ribu kematian ibu dari kurang lebih 5 juta kelahiran hidup setiap tahunnya.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan POGI juga menyorot isu ini secara khusus membentuk kelompok kerja penurunan angka kematian ibu (Pokja PAKI) yang diketuai Prof. Dr dr Dwiana Ocviyanti, SpOG(K). Hingga saat ini, Pokja Penurunan Angka Kematian Ibu ini berfokus untuk menurunkan angka kematian Ibu dan 120 kabupaten – kota seluruh Indonesia.
“Kami mengevaluasi semua faktor penyebab tingginya angka kematian ibu yang kurang lebih 60 persen terjadi di RS rujukan, oleh karena itu kesiapan RS dalam hal PONEK dan pelatihan tenaga kesehatan menjadi agenda utama dalam pelatihan serentak yang sudah kami susun dan laksanakan,” kata Prof. Dr dr Dwiana Ocviyanti, SpOG(K).
Tingginya Angka Seksio Sesarea
Terkait dengan sorotan mengenai tingginya angka seksio sesarea, Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat POGI, Prof. Budi Wiweko menjelaskan bahwa data ini menjadi instropeksi bagi para dokter obgyn untuk melihat lagi bagaimana kenyataan yang ada di lapangan.
Menurut Prof Budi, pada tahun 2018, kami (POGI dan Kemenkes RI) membentuk tim yang dipimpin oleh DR. Dr. Andon Hestiantoro, SpOG selaku Ketua Bidang Ilmiah POGI, melakukan audit klinik pada 159 RS yang melakukan tindakan seksio sesarea lebih dari 1,000 kasus per tahun.
"Dari data 66 RS dan 1.920 rekam medik yang ditelusuri, indikasi janin terbanyak pada seksio sesarea adalah ketuban pecah dini, disproporsi sefalo pelvik (ketidaksesuaian ukuran bayi dan rongga panggul), oligohidramnion (air ketuban sedikit), persalinan tidak maju dan kelainan posisi atau presentasi bayi di jalan lahir. Sementara untuk indikasi ibu terbanyak pada seksio sesarea adalah riwayat operasi seksio sesarea sebelumnya dan pre eklampsia berat (hipertensi dalam kehamilan)," demikian Prof. Budi Wiweko menjelaskan.