SOROT 411

Jejak Candu Kretek, Dari Nginang Sampai Rok'an

Usai kematian Djamhari pada tahun 1890-an rokok campuran tembakau dan cengkih yang konon dipercaya bisa untuk obat itu mulai dibuat masal di rumah-rumah warga.
Sumber :
  • Antara/ Arief Priyono

VIVA.co.id – "Tentu saja, karena rokok itu bekas kena bibirku dan telah leceh (lengket) dengan air ludahku yang manis dan harum." (Roro Mendut, abad-17)

Hikayat yang tertuang dalam Babad Tanah Jawi ini konon, dalam ceritanya, menyebutkan Roro Mendut – perempuan yang menolak menjadi selir panglima perang Kerajaan Mataram Tumenggung Wiroguno – dicatat pernah menjadi penjaja rokok ketika diusir dari istana kerajaan. Dengan cacahan daun tembakau kering yang dibalut dengan daun klobot (Jagung), Roro Mendut menjajakan karyanya ke masyarakat. Dan sebagai penarik pembelinya, Klobot yang telah bercampur tembakau itu dibakar dan diisap ujungnya oleh Roro Mendut sebelum dijualnya ke pembelinya.

Kisah Roro Mendut inilah yang kemudian menjadi ihwal masifnya kebiasaan mengisap tembakau bakar di tingkatan masyarakat Jawa kala itu. Roro Mendut dianggap membongkar praktik tembakau bakar yang biasa dikonsumsi para raja menjadi hal yang juga bisa dinikmati oleh warga biasa.

Nginang dan Rok'an

Terpopuler: Cara Turunkan Berat Badan, Dokter Tirta Ungkap Bahan Berbahaya dalam Mi Instan

Kebiasaan mengisap tembakau bakar di nusantara. Sejatinya tak lepas dari masuknya tanaman tembakau di Indonesia. Catatan ahli bahasa dan kebudayaan asal Belanda, Profesor Schelegel Gustaaf, menyebut jika tembakau ada di nusantara atas pengaruh Portugis pada abad ke-16.

Ini merujuk dari kata Tembakau, yang dahulu dalam bahasa Portugis dinamai Tabaco atau Tumbaco. Konon, serapan inilah yang kemudian menjadi dasar mula kata Tembakau. Jadi bukan dari bahasa Belanda, meski negara ini telah menjajah tiga abad lebih di Indonesia.

Dasarnya, kata Schelegel, Belanda menyebut tembakau dengan sebutan Tabak. Sehingga sulit untuk dikaitkan dengan istilah Tembakau yang saat ini sudah menjadi istilah resmi di Indonesia. Karena itu wajar adanya, Tembakau memang diyakini dikenalkan oleh Portugis di Nusantara.

Dahulu, Tabaco atau Tumbaco dan kemudian menjadi Tembako dalam fonem Jawa. Digunakan bangsa Portugis untuk Sugi, yakni kebiasaan mengunyah daun Sirih yang dicampur Tembakau.

Sama dengan tradisi serupa di Indonesia yang dinamai Nginang. Hanya saja bedanya, Nginang tidak menggunakan tembakau. Ia hanya menggunakan daun sirih yang dicampur kapur dan buah Pinang. Sementara Sugi ala Portugis, daun Sirih dikunyah bersama dengan tembakau cacah.

Kuat dugaan, sentuhan Portugis inilah yang kemudian membuat penggunaan Tabaco atau Tumbaco menjadi masif. Tradisi Nginang pun akhirnya mencampurkan tembakau di dalam racikannya. Atas itu kemudian lahirlah kebiasaan Bako Susur, atau Sirih, Pinang dan Kapur yang sudah dicampur dengan tembakau.

Lambat laun, konon pada abad 17-an, Nginang ini pun berubah ke membakar tembakau, yang umumnya memang sudah dilakukan oleh raja-raja, yang juga sudah mendapat sentuhan tradisi dari orang Eropa yang berkunjung ke kerajaan-kerajaan di jawa.

Hal itu lah yang kemudian tercatat dalam hikayat Roro Mendut, yang terbuang dari kerajaan dan kemudian mempraktikkan cara membakar tembakau lewat Klobot (daun Jagung) lalu menjualnya di masyarakat Jawa.

Namun demikian, kala itu seperti tertuang dalam hikayat Babad ing Sangkala yang ditulis tahun 1738. Dahulu tidak ada istilah Rokok untuk tembakau yang dibakar. Orang Jawa kuno menyebutnya dengan sebutan Eses, Ses, atau Udud (isap). Istilah ini juga tertuang dalam Serat Centhini (1814).

Konon, kata Ses atau Eses disebut dari bunyi yang dikeluarkan ketika cacahan tembakau dibalut dengan Klobot (daun jagung) dan dibakar oleh penikmatnya, maka penikmatnya akan mengeluarkan suara seperti mendesis. Atas itulah di catatan Jawa kuno banyak ditulis sebutan Ses atau Eses.

Alhasil, hingga akhir abad 18-an, kebiasaan tembakau bakar dengan Klobot ini pun akhirnya menjadi lazim di lingkungan warga Jawa Kuno. Cuma mediumnya saja yang berganti, ada yang tetap menggunakan Klobot namun ada juga yang menggunakan daun Aren atau disebut Kawung. Beberapa mencampurnya lagi dengan Kemenyan sebagai pelengkap aromatik, karena Cengkih waktu itu belum dicoba.

Lantas kapan Tembakau masif di Indonesia? Era ini diduga kuat terjadi ketika Belanda sudah masuk ke Nusantara. Negara penjajah ini kabarnya juga membawa misi untuk membuka ladang Tembakau. Ini berdasarkan kebutuhan tembakau memang sedang tinggi di Eropa saat itu.

Atas itu, di sejumlah wilayah Jawa akhirnya dilakukan tanam paksa tembakau. Jika dahulu tembakau cuma menjadi tanaman pelengkap untuk penggemar Ses atau Eses dengan Klobot atau pun Nginang. Belanda rupanya ingin hal itu menjadi komoditi dagang. Berhektar-hektar tembakau pun ditanam di Jawa.

Apalagi, kala itu yang sudah memasuki abad 18-an. Di Eropa, sudah cukup populer yang namanya rokok atau tembakau bakar. Hanya saja mediumnya waktu itu menggunakan cangklong atau pipa. Sebagaimana dilakukan Suku Indian, penduduk asli Benua Amerika yang didatangi Columbus.

Waktu itu, orang Belanda memang cuma mengenal dua cara untuk menikmati tembakau. Pertama dengan menggunakan pipa atau Ro'ken dan kedua dengan cerutu seperti yang sudah populer di benua Eropa.

Atas itulah, kemudian di Indonesia akhirnya populer istilah Ro'ken, dan konon istilah inilah yang kemudian diserap menjadi penyebutan Rokok hingga saat ini. Namun, memang saat itu, yang bisa Ro'ken cuma memang orang-orang mampu saja. Di lingkungan pribumi, tetap warga setempat menggunakan Klobot atau Kawung untuk menikmati tembakau bakar.

Memasuki akhir abad ke-18, lahirlah kisah Haji Djamhari. Lelaki asal Kudus Jawa Tengah inilah yang dikenal karena pertama kalinya meracik tembakau bakar yang menggunakan Klobot (daun Jagung) dengan Cengkih.

Konon, seperti yang tertuang dalam buku Hikayat Kretek karya Sejarahwan Amen Budiman dan Ongkoham, ide pencampuran Cengkih dalam Klobot dan tembakau ditujukan untuk menyembuhkan sakit batuk dan asma Djamhari.

Ternyata usaha coba-coba Djamhari itu pun rupanya membuahkan hasil. Batuk dan sesak asma yang menderanya sedikit ringan. Alhasil, Klobot obat atau rokok ajaib ala Djamhari pun populer. Teman dan kerabatnya memintanya untuk membuat rokok serupa.

Diceritakan, Djamhari pun kewalahan memenuhi permintaan itu. Rokok ajaib Djamhari pun populer dinamai dengan sebutan rokok Cengkih. Hanya saja memang, ketika dibakar dan diisap mengeluarkan bunyi meng-kretek, lama kelamaan warga akhirnya menamai rokok itu dengan istilah Kretek.

Dan konon, sejak itulah kemudian populer istilah Kretek. Djamhari pun menjajakan rokok kreteknya yang masih dibungkus Klobot per ikat berisi 10 linting. Dan tanpa kemasan apa pun.

Sejauh ini, bagaimana identitas Djamhari masih samar. Namun para sejarahwan memperkirakan, apa yang dilakukan Djamhari saat itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya rokok Kretek di Indonesia.

Sebab, usai kematiannya pada tahun 1890-an. Rokok ajaib, yang merupakan campuran tembakau dan cengkih yang konon dipercaya bisa untuk obat itu mulai dibuat masal di rumah-rumah warga Kudus jawa Tengah.

Bangkitnya Kretek Indonesia

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya