- Antara/ Arief Priyono
Sejak beberapa waktu ke belakang, kisruh rokok di Indonesia memang belum pernah tuntas. Alasan kesehatan menjadi dasar utama bahwa rokok menjadi biang awal harus dikurangi.
Rokok juga dipersalahkan dalam meluasnya jumlah kemiskinan di Indonesia. Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan menyebut bila rokok menjadi penyumbang keuda terbesar masalah kemiskinan setelah beras, dengan kontribusi 8,08 persen di perkotaan dan 7,68 persen di pedesaan.
Dengan jumlah warga miskin tercatat hingga September 2015, sebanyak 28,51 juta orang atau setara 11,13 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
"Konsumsi rokok ini secara nasional maupun dilihat dari bawah garis kemiskinan itu masih cukup tinggi. Jadi rokok ini benar penyumbang kedua (kemiskinan) setelah beras," ujar Ketua BPS Suryamin, awal Januari lalu.
Atas itu, kini rokok pun menjadi perdebatan serius. Ia dianggap bisa mengancam negara, karena berdampak buruk bagi regenerasi dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Karena itu, muncul opsi agar bahwa rokok harus dibuat semahal mungkin. Harapannya akan ada pengurangan jumlah pembelian.
Aksi ribuan petani tembakau dari lereng Gunung Sumbing, Sindoro dan Prau menolak wacana kenaikan harga rokok dan menuntut pemerintah mengurangi impor tembakau.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI Siswanto, menilai dengan kenaikan harga jual, maka akan menurunkan daya beli. Khususnya bagi para perokok pemula yang baru belum mencapai level ketagihan.
"Kalau perokok pemula yang belum lama, maka secara ekonomi, dia adalah elastic to price. Artinya kalau harga naik, dia nggak akan membeli atau menurunkan konsumsi," kata Siswanto.
Ia tak menampik jika kebijakan kenaikan harga rokok tidak akan berpengaruh pada perokok lama. Sebab dalam pandangan medis, mereka sudah masuk dalam tahap adiksi atau ketagihan. Sehingga berapa pun harga, akan tetap dipaksa untuk membeli.
Siswanto mengaku, dari data survei saat ini ada satu dari lima anak telah merokok. Terbanyak adalah anak laki-laki sebanyak 36,2 persen dan perempuan 4,3 persen. Rentang umur mereka antara 13-15 tahun.
Ancaman atas penyakit kanker, jantung, paru-paru pun menjadi ancaman paling nyata bagi generasi Indonesia. Catatan Kemenkes, dari riset yang dilakukan tahun 2014. Terbukti bahwa perokok aktif telah membuat dampak buruk kepada orang yang tidak merokok terutama untuk anak-anak dan perempuan.
Rincinya, untuk anak usia 0-4 tahun, laki-laki mencapai 56,1 persen, perempuan 55,9 persen. Kemudian usia 5-9 tahun, laki-laki 57,6 persen dan perempuan 57,3 persen. Anak usia 10-14, laki-laki 56,1 persen dan perempuan 57,5 persen. Lalu anak usia 15-19 tahun, laki-laki 34,3 persen dan perempuan 57,1 persen.
"Semakin dia balita jumlahnya semakin tinggi (perokok pasif). Karena apa? Anak-anak ini kan di rumah. Bapaknya merokok dan dia kena," kata Siswanto.
Meski begitu, di balik perdebatan medis sengit tentang rokok tersebut. Sejumlah orang tetap meyakini bahwa isu ancaman kematian di balik rokok tak lebih sebagai propaganda.