Punya Nikel Segunung, Tapi RI Cuma Dapat Remah-remah Industri Baterai
- Yunisa Herawati
Jakarta, VIVA -Meski dikenal sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia masih belum bisa mengklaim posisi sebagai raja baterai global. Padahal, baterai adalah “jantung” dari kendaraan listrik (EV) dan transisi energi menuju emisi nol bersih (net zero emission).
Menurut Pendiri National Battery Research Institue (NBRI) Evvy Kartini, mengatakan permasalahannya adalah nikel saja tidak cukup.
“Sorry to say, kalau cuma nikel saja, gak cukup,” ujar dia di Jakarta.
Diketahui, pemerintah memang sudah melarang ekspor nikel mentah sejak era Presiden Joko Widodo, dan mendorong hilirisasi dengan membangun smelter. Langkah ini meningkatkan nilai tambah hingga 10 kali lipat, tapi itu baru awal.
“Kalau hanya sampai smelter, lalu diekspor, kita hanya dapat nilai tambah 10 kali. Tapi kalau nikel diproses sampai jadi baterai di Indonesia, nilainya bisa 150 kali. Kalau sampai jadi mobil listrik (EV), nilainya naik 350 kali,” katanya.
Sayangnya, nilai tambah itu masih belum dinikmati sepenuhnya oleh Indonesia. Ia memberi contoh, pabrik baterai terbesar saat ini dimiliki oleh konsorsium Korea, yaitu Hyundai-LG Energy Solution dengan kapasitas 10 GWh.
“Itu 100 persen milik asing, walau pabriknya di Indonesia. Produknya dikirim keluar untuk Hyundai,” jelasnya.
Ironisnya menurutnya, banyak pabrik baterai kecil milik lokal justru tak terdengar.
“Ada yang kecil, pabrik pribadi, tapi gak dipromosikan. Padahal itu punya orang Indonesia,” ungkap doa.
Selain kendala hilirisasi, standarisasi baterai di Indonesia juga masih sangat lemah. Dari studi yang dilakukan, ditemukan 52 merek baterai motor listrik, masing-masing dengan ukuran dan sistem berbeda-beda.
“Seharusnya ada standar seperti ATM bersama. Kalau sekarang, satu motor satu sistem. Egois. Ini bikin orang malas pindah ke kendaraan listrik,” ungkap Evvy.
Tak kalah penting, isu keselamatan baterai juga belum menjadi perhatian.
“Regulasi untuk safety baterai sudah ada sejak 2019, tapi tidak mandatory. Produsen masih cuek. Padahal kalau overcharging atau korsleting, bisa meledak,” kata dia.