Teriak Sopir Truk Soal Maraknya Aksi Pungutan Liar
- VIVA.co.id/M Ali Wafa
Jakarta, VIVA – Di balik maraknya truk ODOL (over dimension over load) yang masih berkeliaran di jalanan, ternyata ada persoalan lain yang tidak kalah serius, yakni praktik pungutan liar (pungli) yang menjerat para sopir.
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, mengungkapkan bahwa keluhan dari sopir truk soal pemalakan sudah sangat masif.
"Pemalakan oknum preman dari Tol Cikampek hingga Kramat Jati, sopir truk bawa besar harus bayar pungli Rp 200 ribu. Jika istirahat di bahu jalan (setelah gerbang tol), mereka juga kena pungli petugas tol. Katanya, sudah pernah disampaikan ke direksi, tetapi sampai sekarang masih ada pungli," ujarnya dikutip VIVA melalui keterangan resmi.
Ternyata tidak hanya di jalan tol, rest area pun tak luput dari praktik serupa.
Truk Kelebihan Muatan, Truk ODOL
- VIVA.co.id/M Ali Wafa
“Sementara menurut komunitas sopir truk, jika di bahu jalan dipungli sama oknum PJR, di rest area dipungli sama satpam rest area. Pengakuan pengusaha angkutan barang, di sekitar Tanjung Priok ada kampung, jalur menuju gudang yang masuk portal harus bayar Rp100 ribu dengan stempel RT setempat. Mengangkut sayuran dari Garut ke Pasar Kramatjati (Jakarta), harus menyisihkan paling tidak Rp175 ribu melewati 5-6 titik pungutan liar,” lanjut Djoko.
Ia pun menambahkan, praktik pungli ini bukan hanya merugikan sopir, tapi juga menyengsarakan pemilik barang dan pengusaha logistik.
Akibatnya, biaya angkut melonjak dan membuat logistik di Indonesia tidak efisien.
“Diperkirakan praktik pungli di sektor logistik telah membebani 15-20 persen ongkos angkut logistik di Indonesia. Punglinya dilakukan mulai baju seragam hingga tidak memakai baju," kata Djoko.
Ia menambahkan, "Penuturan pengusaha truk, ongkos logistik di Indonesia sudah lebih tinggi dari Thailand. Pungli di angkutan logistik Indonesia harus dihilangkan dan harus dimasukkan dalam program Zero odol yang sedang ditangani Kemenko Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah."
Lebih parahnya lagi, menurut data dari asosiasi pengusaha, truk dengan intensitas angkut tinggi bisa menghabiskan biaya antara Rp120 juta sampai Rp150 juta per tahun hanya untuk membayar pungli.
Djoko menuturkan, rata-rata tiap bulan, dana yang dirogoh sopir atau perusahaan mencapai Rp10 juta hingga Rp12 juta.
“Dari angkut sampai bongkar semua ada punglinya. Pemerintah hanya mikir memberantas odol, tapi nggak pernah mikir bagaimana memberantas punglinya,” tutupnya.