Melacak Aliran Dana Gelap Keluar dari Indonesia

Dolar AS dan rupiah.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id - Lembaga penelitian non profit yang berbasis di Washington DC, Amerika Serikat (AS) Global Financial Integrity (GFI) melaporkan pada 2013 aliran dana gelap di negara-negara berkembang mencapai US$1,1 triliun. Aliran dana tersebut jumlahnya meningkat 2,3 kali lipat dibanding 10 tahun sebelumnya.

BI Tak Akan Perlonggar Uang Muka Kredit Motor
 
Peneliti Senior Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro, mengatakan, berdasarkan data GFI, selama 2004-2013, rata-rata setiap tahun nilai aliran dana gelap di negara-negara berkembang totalnya mencapai US$18 miliar. Artinya, negar-negara berkembang kehilangan sekitar US$7,8 triliun selama waktu tersebut akibat aliran dana gelap.
Harapan BI dari Penerapan 7 Days Repo Rate
 
Pertumbuhan aliran dana gelap (illicit financial flow) yang lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi merugikan perekonomian banyak negara, termasuk Indonesia.
Aliran Dana Asing ke RI Tembus Rp130 Triliun
 
"Alirann dana yang tidak sah ini berpengaruh langsung terhadap kondisi fiskal dan moneter dalam negeri. Penerimaan negara atau pajak menguap, likuiditas keuangan pun dapat tersedot. Akibatnya sebagian modal untuk mendorong 
 
kegiatan ekonomi serta meningkatkan layanan publik hilang," kata Budi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 20 Februari 2016.  Sementara itu, di Indonesia, kurun waktu 2010-2014, akumulasi aliran dana gelap di Tanah Air mencapai Rp914 triliun. Aliran dana gelap Indonesia berada di peringkat kesembilan secara global.
 
"Nilainya setara dengan 45 persen pertambahan jumlah uang beredar luas (M2) dalam periode yang sama. Beda dengan uang yang tersimpan di bank (M1)," ujar dia.
 
Bahkan, dibandingkan dengan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, jumlah aliran dana gelap diketahui telah mencapai 2,2 persen. Angkanya hampir menyamai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2014, sebesar 2,26 persen dari nilai PDB.
 
Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Ah Maftuchan saat dihubungi VIVA.co.id, Minggu 21 Februari 2016 menambahkan, meningkatnya aliran dana gelap di Indonesia disebabkan oleh trade mis-invoicing atau rekayasa nilai 
barang untuk menghindari pajak berdampak langsung pada penerimaan pajak. 
 
Potensi penerimaan pajak dari transaksi, misalnya impor atau ekspor, bisa hilang karena upaya penghindaran pajak tersebut. Sektor pertambangan, perkebunan, keuangan dan industri menurut Maftuchan adalah yang paling rentan terjadinya aliran dana gelap ini. 
 
"Cara yang dilakukan macam-macam seperti tranfer pricing yang berimbas pada turunnya kewajiban membayar pajak," ujarnya. 
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya