Skincare Berbahaya Baru Dirilis 2025, Richard Lee Sebut BPOM Hanya Timbulkan Huru-Hara

Richard Lee
Sumber :
  • IG @dr.richard_lee

VIVA – Dunia kecantikan kembali dikejutkan dengan pengumuman Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait 34 produk skincare berbahaya yang dirilis pada awal Agustus 2025. Salah satu produk yang menjadi sorotan adalah krim MC, yang diduga terkait dengan figur publik Shella Saukia. Pengumuman ini memicu reaksi keras dari dokter kecantikan terkenal, dr. Richard Lee, yang menyoroti keterlambatan BPOM dalam merilis daftar tersebut.

Fitri Salhuteru Bongkar Sifat Buruk Nikita Mirzani, Ngaku Lebih Dekat dengan Reza Gladys

Menurut Richard Lee, produk-produk yang masuk dalam daftar BPOM sebagian besar sudah tidak beredar di pasaran. Ia mengaku telah mengulas hampir semua produk tersebut, termasuk krim MC, sejak dua tahun lalu melalui platform media sosialnya. 

Bahkan, pada 2023, Richard Lee pernah membahas produk MC secara langsung bersama Shella Saukia dalam sebuah podcast. Shella Saukia sendiri menyatakan bahwa produk tersebut telah dihentikan produksinya setelah mendapat teguran dari BPOM.

Reza Gladys Tegaskan Isu Miring, Produk Glafidsya Tidak Ada yang Berbahaya

"Aku agak menyesalkan kenapa baru 2025 diumumkan ke masyarakat. Kalo diumumkan tahun 2023 dan 2024, konsumennya masih banyak, yang beli masih banyak," tutur Richard Lee dalam unggahannya di Instagram, dikutip Rabu 6 Agustus 2025.

"Kalau diumumin pada waktu itu dan orang jadi nggak pakai, BPOM menyelamatkan banyak wanita Indonesia," tambahnya.

Tegaskan Skincare yang Masuk Daftar Hitam BPOM Bukan Miliknya, Shella Saukia: Pernah Gak Liat Aku Jual Produk Itu?

Richard Lee menilai pengumuman BPOM pada 2025 hanya memicu kegaduhan tanpa dampak signifikan, mengingat produk-produk tersebut sudah tidak lagi beredar. Ia juga mempertanyakan alasan BPOM membutuhkan waktu hingga dua tahun untuk merilis daftar produk berbahaya tersebut.

"Jadi kalau diumumin tahun 2025 hanya menimbulkan huru-hara aja, hanya menimbulkan polemik saja. Yang pakai juga tidak ada lagi," kata Richard Lee. 

Lebih lanjut, Richard Lee menyoroti ketidakkonsistenan BPOM dalam pengumuman ini. Ia menemukan beberapa merek skincare bermasalah yang tidak masuk dalam daftar resmi BPOM. Ia juga menyinggung dugaan tebang pilih oleh BPOM, mengacu pada kasus hukuman 10 bulan penjara yang dijatuhkan kepada Mira Hayati karena produknya mengandung merkuri. 

"Kriteria pengumuman BPOM ini seperti apa?" tanya Richard Lee. 

Sementara itu, produk MC yang terkait dengan Shella Saukia tidak mencantumkan nama perusahaan (PT) dalam daftar BPOM, sehingga sulit untuk menjatuhkan sanksi hukum. Shella sendiri mengklaim telah menarik produk MC dari peredaran, dengan kemungkinan adanya pemalsuan produk karena absennya etiket biru.

"32 produk ada nama PT-nya. Yuk bisa yuk kita masukin penjara supaya kapok dan nggak pakai hidrokuinon lagi," tutup Richard Lee.

Komentar Richard Lee memicu persepsi bahwa ia mendukung Shella Saukia, yang saat ini terlibat dalam perseteruan dengan figur publik lain, seperti dr. Reza Gladys dan Nikita Mirzani. Namun, Richard Lee dengan tegas membantah tuduhan tersebut. 

"Saya nggak bela siapa pun. Saya nggak di timnya DRG, saya nggak di timnya SS, saya juga nggak di timnya NM," tegas Richard Lee. 

Ia menegaskan bahwa fokusnya adalah memberantas produk skincare berbahaya, bukan terlibat dalam konflik antar figur publik.

"Saya di kubu saya sendiri dan tidak bela siapa-siapa, dan tidak akan menyerang orang secara membabi buta," sambung suami dr. Reni Effendi tersebut. 

Richard Lee juga menyindir publik yang lebih tertarik pada drama perseteruan antar figur publik ketimbang isu utama, yaitu peredaran skincare berbahaya.

"Kalian itu lebih suka huru-haranya, perseteruan artisnya, kubu mana dengan kubu mana, siapa yang menang, siapa yang kalah, atau sebenarnya pengin memberantas skincare abal-abal?" sindir Richard Lee.

Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya pengawasan ketat terhadap produk kecantikan di Indonesia. Keterlambatan pengumuman BPOM dan dugaan ketidakkonsistenan dalam penegakan aturan memicu pertanyaan besar tentang efektivitas perlindungan konsumen di sektor ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya