Unik, Ajang Lari 10K Ini Angkat Isu yang Sering Diabaikan Pelari
- istimewa
VIVA – Lari bukan lagi sekadar soal siapa tercepat di garis finis. Salonpas Sport 10K 2025, mengajak ribuan pelari untuk berpikir ulang: sudahkah kita berlari dengan cerdas?
Berlangsung untuk ketiga kalinya, lomba lari tahunan ini akan digelar di Biomedical Campus BSD City, Tangerang, pada Minggu, 12 Oktober 2025, dengan semangat baru bertajuk The Unstoppable Spirit. Sebuah ajakan untuk terus bergerak, bukan tanpa lelah, tapi dengan kesadaran akan pentingnya pemulihan tubuh.
"Pemulihan bukan sekadar reaksi atas cedera, tapi bagian dari strategi performa. Kami ingin para pelari mengerti bahwa recovery adalah latihan itu sendiri," ujar Rio Sato, President Director PT Hisamitsu Pharma Indonesia, dalam media gathering di Jakarta, Kamis 3 Juli 2025
Fakta menunjukkan bahwa pada gelaran tahun sebelumnya, 60 persen keluhan peserta datang dari masalah otot, mulai dari kram hingga tegang. Hal ini menjadi alarm bahwa banyak pelari yang abai terhadap pentingnya strategi pemulihan.
Desy Setiarini, Senior Product Manager PT Hisamitsu Pharma, menyebut pihaknya kini menerapkan pendekatan TRIPL3S dan kampanye Salonpas Let's Move untuk mengedukasi peserta.
Mereka menghadirkan produk-produk seperti gel, jet spray, cream, hingga gel patch, yang digunakan sebelum, saat, dan sesudah berlari.
"Kami ingin mengubah cara pandang pelari. Persiapan bukan hanya soal latihan, tapi juga pemahaman bagaimana tubuh bekerja dan pulih," kata Desy.
Tak hanya untuk pelari profesional, ajang ini dirancang untuk semua kalangan usia. Mulai dari anak-anak 6–10 tahun dalam kategori ByeBye-FEVER Kids Dash (400 dan 800 meter), hingga kategori 5K dan 10K untuk usia 11–65 tahun.
Ajang ini menargetkan 3.000 peserta, dengan sistem keamanan ketat dan pendekatan edukatif di setiap kategori. Pendaftaran dibuka mulai 5 Juli 2025, dengan harga tiket antara Rp150 ribu hingga Rp350 ribu.
Lari Tak Harus Terburu-buru
Melalui Salonpas Sport 10K 2025, PT Hisamitsu Pharma tak sekadar menyelenggarakan lomba. Mereka mencoba menggeser paradigma: bahwa menjadi “tak terbendung” bukan berarti terus berlari tanpa henti, tapi tahu kapan harus berhenti, menghela napas, dan pulih. Karena di balik langkah cepat yang konsisten, selalu ada pemulihan yang cermat.
