Mabit di Muzdalifah: Makna dan Tata Cara Setelah Wukuf di Arafah dalam Rangkaian Ibadah Haji

Senja menuju Muzdalifah.
Sumber :
  • vstory

Muzdalifah, VIVA – Setelah menjalani wukuf di Padang Arafah—yang merupakan puncak dari ibadah haji—jutaan jamaah bergerak menuju Muzdalifah. Inilah salah satu fase penting dalam rangkaian ibadah haji yang tak boleh dilewatkan. Mabit di Muzdalifah bukan sekadar bermalam atau singgah sejenak, tetapi menyimpan banyak pelajaran spiritual, penguatan iman, serta pengingat akan ketundukan kepada Allah SWT.

KPK Bilang Penyelidikan Kuota Haji Khusus Segera Naik ke Penyidikan

Lalu, apa itu mabit di Muzdalifah? Bagaimana tata caranya? Dan apa makna yang bisa dipetik dari ibadah ini? Mari kita kupas secara lengkap dalam artikel berikut.

Apa Itu Mabit di Muzdalifah?

Total Tabungan Haji Tembus Rp 303 Miliar Per Juni 2025, Bank Mega Syariah Ungkap Strateginya

Secara bahasa, “mabit” berarti bermalam atau singgah. Sedangkan Muzdalifah adalah sebuah lembah terbuka yang terletak di antara Arafah dan Mina. Maka, mabit di Muzdalifah adalah kegiatan bermalam atau singgah sejenak di lembah Muzdalifah setelah selesai melaksanakan wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Dalam ibadah haji, mabit di Muzdalifah dilakukan pada malam 10 Dzulhijjah hingga menjelang subuh, dan menjadi bagian dari manasik haji yang disyariatkan. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:

Operasional Haji 2025 Resmi Berakhir, Ini 7 Layanan Utama selama Jemaah Indonesia di Tanah Suci

“Maka apabila kamu bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram (Muzdalifah), dan berzikirlah kepada-Nya sebagaimana yang telah Dia tunjukkan kepadamu…” (QS. Al-Baqarah: 198)

Jemaah haji saat bermalam di Muzdalifah. Mereka juga mengumpulkan batu kecil untuk melempar jumrah.

Photo :
  • ANTARA/ Prasetyo Utomo

Hukum Mabit di Muzdalifah

Mayoritas ulama, termasuk mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, menyatakan bahwa mabit di Muzdalifah adalah wajib dalam rangkaian ibadah haji. Jika tidak dilaksanakan tanpa uzur syar’i, maka jamaah wajib membayar dam (denda) berupa menyembelih seekor kambing.

Namun, bagi jamaah yang memiliki udzur seperti lansia, sakit, atau perempuan yang membawa anak kecil, ada keringanan untuk tidak mabit penuh sepanjang malam. Mereka boleh berangkat lebih awal ke Mina, biasanya setelah tengah malam.

Tata Cara Mabit di Muzdalifah

MABIT DI MUZDALIFAH

Photo :
  • ANTARA/ Prasetyo Utomo

1. Berangkat dari Arafah Setelah Terbenam Matahari
Setelah matahari tenggelam di Arafah, jamaah haji bergerak ke Muzdalifah. Perjalanan ini dilakukan dengan penuh kekhusyukan, sambil memperbanyak dzikir dan takbir.

Nabi Muhammad SAW tidak salat Maghrib di Arafah, tapi menjamak salat Maghrib dan Isya di Muzdalifah, sebagaimana sabdanya:
“Tidaklah Rasulullah SAW salat Maghrib pada malam Arafah kecuali di Muzdalifah.” (HR. Bukhari)

2. Menjamak Maghrib dan Isya di Muzdalifah
Setibanya di Muzdalifah, jamaah melaksanakan salat Maghrib dan Isya secara jamak qashar (digabung dan diringkas). Maghrib 3 rakaat dan Isya 2 rakaat, dilakukan tanpa jeda panjang.

3. Mabit dan Mengumpulkan Batu
Setelah salat, jamaah diharuskan mabit atau bermalam di Muzdalifah hingga lewat tengah malam, dan lebih utama hingga waktu Subuh. Di sela waktu tersebut, jamaah dianjurkan untuk beristirahat, berdzikir, dan berdoa sebanyak-banyaknya.

Di Muzdalifah pula, jamaah mengumpulkan batu kerikil kecil—biasanya sebanyak 49 atau 70 buah—yang akan digunakan untuk melontar jumrah di Mina mulai 10 Dzulhijjah.

4. Salat Subuh dan Zikir di Masy’aril Haram
Setelah melaksanakan salat Subuh, jamaah berdzikir dan berdoa menghadap kiblat di Masy’aril Haram, yaitu area khusus di Muzdalifah yang dimuliakan. Setelah itu, jamaah bergerak menuju Mina sebelum matahari terbit.

Makna dan Hikmah Mabit di Muzdalifah

1. Melatih Kesabaran dan Kebersamaan
Mabit di Muzdalifah dilakukan dalam kondisi yang sederhana—tanpa tenda, hanya beralaskan tanah dan beratapkan langit. Suasana ini menyatukan semua jamaah dalam kesederhanaan, tanpa membedakan status sosial, kebangsaan, atau latar belakang. Ini menjadi pelajaran tentang ukhuwah dan kesabaran.

2. Simbol Perjalanan Hidup
Perjalanan dari Arafah ke Muzdalifah dan seterusnya ke Mina melambangkan perjalanan hidup manusia. Dari kesadaran spiritual di Arafah, manusia menuju tahap kontemplasi dan pengumpulan bekal (batu di Muzdalifah), lalu menghadapi ujian dan perjuangan (melontar jumrah di Mina).

3. Momentum Tadabbur dan Perenungan
Di tengah keheningan malam, Muzdalifah mengajarkan jamaah untuk merenungkan diri, mengingat dosa-dosa, dan menyusun niat untuk memperbaiki diri ke depan. Tempat ini menjadi saksi bisu akan permohonan maaf, rasa syukur, dan harapan dari hati yang tulus.

Keringanan Bagi Jamaah Rentan

Syariat Islam sangat fleksibel dan penuh kasih sayang. Oleh karena itu, bagi jamaah lansia, sakit, atau wanita hamil, boleh meninggalkan Muzdalifah lebih awal setelah tengah malam untuk menghindari kepadatan dan risiko kelelahan. Ini termasuk dalam rukhshah (keringanan) dalam ibadah haji.

Mabit di Muzdalifah, Persiapan Menyambut Hari Raya dan Melontar Jumrah

Setelah mabit di Muzdalifah, jamaah bergerak menuju Mina untuk melaksanakan rukun dan wajib haji selanjutnya, yaitu melontar jumrah Aqabah, menyembelih hewan kurban, mencukur rambut (tahallul), dan tawaf ifadah.

Muzdalifah bukan sekadar tempat singgah. Ia adalah simbol penyatuan, ketundukan, dan penguatan spiritual. Dari tanah ini, jutaan hati bersatu dalam dzikir dan doa, mengharap ridha Ilahi, menyucikan diri, dan melangkah menuju ampunan dan keberkahan.

Semoga setiap mabit kita di Muzdalifah diterima sebagai bagian dari haji yang mabrur, dan menjadi awal dari perubahan diri menjadi insan yang lebih taat, sabar, dan penuh cinta kasih.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya