Bantuan Pemerintah untuk Media Massa Indonesia di Tengah Tekanan Ekonomi

Ilustrasi media
Sumber :
  • Istimewa

(Artikel ini ditulis oleh Gilang Iskandar, Praktisi Penyiaran Televisi)

Perpres Publisher Rights: Keadilan Ekonomi untuk Industri Pers Indonesia

VIVA – Sejak pandemi COVID-19 industri media massa Indonesia menghadapi tekanan berat akibat perubahan drastis dalam pola belanja iklan. Menurut laporan Nielsen Ad Intel 2024, pangsa iklan televisi yang sebelumnya mendominasi lebih dari 80 persen kini turun ke kisaran 58–60 persen. Sebaliknya iklan digital terutama melalui platform global seperti Google, Meta (Facebook dan Instagram), TikTok, dan YouTube naik pesat hingga menguasai 35–37 persen pasar.

Gilang Iskandar-Praktisi Media Televisi

Photo :
  • Ist
Pesan Wamenkominfo ke 11 Anggota Komite Perpres Publisher Rights

Akibat pergeseran ini media televisi nasional melaporkan penurunan pendapatan (revenue) antara 30 hingga 40 persen dalam lima tahun terakhir. Media cetak mengalami situasi yang lebih kritis. Banyak surat kabar daerah tutup atau bermigrasi penuh ke portal online. Sementara itu media daring menghadapi dilema banjir konten sensasional dan clickbait untuk sekadar bertahan.

Biaya Tinggi, Pendapatan Turun

Dian Gemiano Terpilih Lagi sebagai Ketua Umum IDA

Di tengah turunnya pendapatan, biaya operasional media massa tidak berkurang. Televisi nasional misalnya, tetap harus menanggung beban besar dalam biaya konten, pembelian hak siar, sewa satelit, pengelolaan jaringan transmisi, hingga kewajiban menayangkan siaran lokal di berbagai daerah. Kondisi serupa dialami media cetak dan digital yang tetap harus membiayai redaksi, kru produksi, distribusi, hingga infrastruktur teknologi.

Dampaknya sangat nyata terhadap tenaga kerja. Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat lebih dari 1.000 jurnalis terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak 2020 hingga 2023. Ribuan lainnya menghadapi pemotongan gaji atau kontrak kerja yang tidak diperpanjang. Padahal sektor ini menyerap puluhan ribu tenaga kerja mulai dari jurnalis, kru teknis, pemasaran, hingga tenaga kreatif.

Mengapa Media Harus Diselamatkan?
Lalu pertanyaan mendasar nya : mengapa media massa Indonesia harus mendapat perhatian khusus dari negara? Jawabannya karena media massa Indonesia bukan sekadar industri tetapi juga institusi demokrasi.

Media massa memiliki fungsi kontrol sosial terhadap penyelenggara negara, menjaga keberagaman informasi, dan menjadi sumber rujukan kredibel bagi masyarakat. Jika media kredibel melemah, ruang publik akan semakin dipenuhi hoaks, ujaran kebencian, manipulasi algoritma, dan polarisasi politik yang digerakkan buzzer maupun bot.

Selain itu media memiliki kewajiban konstitusional untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Kolapsnya media massa Indonesia berarti hilangnya salah satu pilar penting demokrasi Indonesia.

Upaya Pemerintah sebelumnya
Pemerintah Indonesia sebenarnya pernah melakukan sejumlah langkah seperti dalam hal insentif pajak. Tahun 2020-2021 Kementerian Keuangan memberi keringanan PPh 21 yang ditanggung pemerintah dan potongan pajak reklame di sejumlah daerah. Namun cakupannya masih terbatas. Dan pada tahun 2020-2021 juga dilakukan kemitraan Pemerintah dan media melalui dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan publikasi program pemerintah. Namun sifatnya parsial dan tidak menyelesaikan akar masalah ekonomi media.

Langkah-langkah tersebut penting tetapi belum cukup menjawab krisis struktural yang dihadapi industri media.

Perpres Publisher Rights: Harapan Baru

Tonggak kebijakan baru lahir melalui Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas atau yang populer disebut Perpres Publisher Rights.

Perpres ini menegaskan kewajiban platform digital global seperti Google, Meta, dan TikTok untuk menjalin kerja sama formal dengan perusahaan pers Indonesia yang terverifikasi Dewan Pers. Bentuknya bisa berupa lisensi berbayar, skema bagi hasil, berbagi data agregat pengguna, atau bentuk lain sesuai kesepakatan.

Tujuannya adalah untuk menjamin keberlanjutan jurnalisme berkualitas, mengatur tanggung jawab platform global terhadap konten berita, serta menciptakan ekosistem bisnis yang lebih adil antara media lokal dan raksasa digital.

Namun implementasi Perpres ini masih menghadapi tantangan. Hingga Maret 2025 belum ada laporan konkret mengenai realisasi pembayaran atau kompensasi finansial. Komite Independen yang diamanatkan Pasal 9 Perpres pun belum berfungsi optimal. Dengan kata lain, kebijakan ini masih dalam tahap awal dan memerlukan percepatan implementasi.

Belajar dari Negara Lain

Sejumlah negara telah lebih dulu menerapkan kebijakan serupa dengan hasil nyata. Australia pada tahun 2021 melalui News Media Bargaining Code, Google dan Facebook dipaksa menandatangani perjanjian bernilai ratusan juta dolar dengan perusahaan media lokal. Kanada tahun 2023 mengesahkan Online News Act yang mewajibkan platform digital membayar kompensasi bagi konten berita yang ditampilkan. Kemudian Prancis pada tahun 2023 mengalokasikan subsidi lebih dari €480 juta (pounsterling) per tahun untuk mendukung media cetak, termasuk adaptasi ke digital. Berikutnya Norwegia, yang membentuk dana abadi media untuk menopang jurnalisme lokal dan riset digital.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa intervensi negara dalam menopang media adalah praktik wajar di negara demokrasi.

Rekomendasi Tambahan
Selain mengawal implementasi Perpres Publisher Rights, pemerintah Indonesia dapat mengambil langkah strategis lain yaitu: Pertama, subsidi konten bermutu dengan memberi dukungan finansial untuk produksi konten edukatif, kebudayaan, literasi, dan jurnalisme investigatif. Kedua, dana abadi media dengan membentuk endowment fund untuk mendanai riset, pelatihan jurnalis/programmer, dan inovasi teknologi media. Ketiga, skema pinjaman lunak melalui kerja sama dengan perbankan dalam menyediakan kredit khusus bagi industri media, mirip dengan kredit usaha untuk UMKM.

Keempat, keringanan biaya melalui potongan hingga 50% terhadap pajak (PPh, PPN), biaya listrik, biaya izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) dan izin penggunaan frekuensi (ISR) selama periode krisis. Kelima, moratorium regulasi dengan menunda sementara kewajiban yang membebani Lembaga Penyiaran seperti pembatasan iklan niaga, kewajiban siaran lokal dan denda administratif isi siaran. Keenam, alokasi belanja negara dengan mengarahkan anggaran APBN dan APBD untuk belanja iklan layanan publik, hibah produksi, atau sosialisasi melalui media massa Indonesia.

Langkah-langkah ini dapat memperpanjang “nafas” media massa Indonesia sekaligus memastikan keberlanjutan ekosistem informasi yang sehat.

Menyelamatkan Media, Menyelamatkan Demokrasi
Krisis ekonomi yang melanda media massa Indonesia nyata adanya. Jika dibiarkan bukan hanya ribuan tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan tetapi juga kualitas demokrasi yang terancam.  Karena itu negara harus hadir dengan membuat kebijakan komprehensif yaitu regulasi adil, subsidi, insentif fiskal, hingga program strategis. Dengan dukungan yang tepat media massa Indonesia dapat bertahan, beradaptasi, dan berkembang di era digital. Media yang sehat akan tetap menjadi tiang penyangga demokrasi, penyedia informasi kredibel, serta mitra strategis pembangunan bangsa.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.