Sejarah Sastra: Kelahiran Sastra Indonesia
- vstory
Suatu hal yang menambah keyakinan bahwa Balai Pustaka merupakan awal dari lahirnya sastra Indonesia adalah pada masa penjajahan setelah Belanda, tepatnya kependudukan Jepang (1942-1945) Balai Pustaka masih tetap ada meski menggunakan nama lain yaitu Gunseikanbo Kokumin Tosyokyoku yang artinya Biru Pustaka Rakyat Pemerintah Militer Jepang.
Hadirnya Balai Pustaka ini telah membuka hati penulis-penulis untuk memperlihatkan hasil karyanya yang sebelumnya menggunakan bahasa daerah kemudian beralih ke bahasa Indonesia sebagai ungkapan rasa bangga berbangsa Indonesia. Selain itu, hal ini telah membuka semangat, pikiran, dan kesadaran para penulis untuk mempersatukan daerah-daerah demi keutuhan bangsa Indonesia.
Selain menjadi tonggak lahirnya sastra Indonesia, pada masa Balai Pustaka pula karya-karya masterpiece dilahirkan. Hal ini terbukti dari beberapa karya Balai Pustaka yang mengalami pencetakan ulang dan penerbitan kembali. Di antara beberapa karya sastra tersebut roman Azab dan Sengsara karangan Merari Siregar mengalami cetak ulang ke -10 tahun 1992, roman Kalau Tak Untung karangan Selasih yang mengalami cetak ulang ke -12 tahun 1992, roman Atheis karangan Achdiat K. Mihardja yang mengalami cetak ulang ke -28 tahun 2006, novel Bukan Pasar Malam karangan Pramoedya Ananta Toer yang dinyatakan terlarang pada tahun 1966 dan diterbitkan kembali oleh Bara Budaya tahun 1999 dan Lentera Dipantara tahun 1994, dan roman Surapati karangan Abdul Moeis mengalami cetak ulang ke-10 tahun 1995.
Sastra Indonesia secara umum dibagi menjadi Sastra Indonesia Lama dan Sastra Indonesia Baru. Sastra Indonesia Kuno merupakan masa sastra yang dimulai pada zaman prasejarah (sebelum masyarakat melek huruf).
Namun, sastra Indonesia kuno diperkirakan muncul bersamaan dengan peradaban bangsa Indonesia. Yang ditentang para ahli adalah kapan sejarah sastra Indonesia akan memasuki era baru. Ada yang berpendapat bahwa sastra Indonesia kuno berakhir pada masa kebangkitan nasional (1908), masa Balai Pustaka (1920), dan munculnya bahasa Indonesia (1928).
Dikatakan pula bahwa sastra Indonesia kuno berakhir pada zaman Balai Pustaka. Sedangkan sastra Indonesia baru bercirikan penggunaan bahasa Indonesia untuk mencerminkan perasaan, gagasan, dan pemikiran masyarakat dalam kaitannya dengan sastra kebahasaan yang menggambarkan suatu tindakan dalam pikiran yang disajikan dengan penuh imajinasi. Sastra Indonesia baru (modern) muncul bersamaan dengan adanya nasionalisme Indonesia. Menurut beberapa ahli, sastra Indonesia dimulai dengan munculnya novel-novel terbitan Balai Pustaka pada tahun 1900-an.