Nggusu Waru: Karakter Kepemimpinan Masyarakat Bima

Foto, radiomataram.com
Sumber :
  • vstory

VIVA - Bima adalah salah satu daerah di bagian timur pulau Sumbawa. Bima merupakan daerah yang terbagi menjadi kabupaten dan kota, sebelumnya berbentuk kerajaan. Setelah menerima agama Islam (abad 17), berubah dari kerajaan menjadi kesultanan. Bima memiliki suku asli demikian pula bahasa bernama Mbojo. Masyarakat Bima memiliki sejarah peradaban yang gemilang, serta dapat dikaji jejak peninggalannya.

Diskriminasi Muslim di India, Normalkah?

Budaya sebagai jati diri masyarakat Bima tidak kemudian hilang setelah hadirnya Islam. Justru Islam hadir sebagai penguat eksistensi budaya. Hilir Ismail mengutip Peter Carey, bahwa kesultanan Bima merupakan kesultanan di Indonesia bagian timur yang tersohor karena ketaatannya pada agama Islam.

Selain itu, masyarakat Bima diakui sebagai masyarakat yang taat pada sistem budayanya dan berpegang teguh pada norma agama. Menyadari akan hal itu, A Couver, seorang asisten residen pemerintahan Belanda untuk Sumbawa dan Sumba menyatakan, bahwa untuk menguasai kesultanan Bima hanyalah dengan melemahkan adat dan budayanya (Mutawalli, 2013: 2).

Dinamika Reformasi Arab Saudi: Kasus Konser Musik

Saat awal kehadiran Islam di Bima, oleh para ulama dan sultan, Islam diformulasikan secara khusus agar kemudian dapat diterima oleh masyarakat luas (Aminullah, 2022: 5). Para ulama dan sultan membuat satu gagasan baru yang kemudian dapat dijadikan landasan atau filosofi bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya bagi para pemimpin/sultan agar dapat memaksimalkan potensi dirinya dan mampu mengayomi masyarakat yang dipimpinnya.

Konsep ini kemudian disebut Nggusu Waru, yang digali dari intisari nilai-nilai ajaran Islam, guna memperkaya gagasan yang terkandung dalam adat. Sehingga dalam penerapannya, tidak hanya merepresentasikan budaya, tapi juga mengamalkan spirit agama itu sendiri.

Berfilsafat Itu Perintah Agama

Kita mengetahui filosofi kepemimpinan Jawa, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Filosofi Jawa tersebut menggambarkan bagaimana cara memimpin atau bagaimana perilaku seorang pemimpin terhadap rakyat atau masyarakat yang dipimpin, sedangkan Nggusu Waru menggambarkan karakter atau sifat yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin. Namun, patut dihargai, filosofi Jawa tersebut telah diangkat menjadi filosofi kepemimpinan nasional yang diteladani dan dipelajari seluruh masyarakat Indonesia (Badrun, 2008: 3).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.