Ramai Negara-negara Dunia Jauhi AS dengan Menyingkirkan Dolar Sebagai Mata Uang Pedagangan
- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA Dunia – Posisi Amerika Serikat (AS) yang digadang-gadang memegang hegemoni dunia mulai terancam. Hal ini terlihat dari beberapa negara yang mulai tak patuh dengan Negeri Paman Sam, utamanya setelah serangan Rusia ke Ukraina.
Di bidang ekonomi, negara-negara dunia mulai berpikir untuk mengurangi penggunaan dolar AS dalam perdagangannya. Isu ini mulai didengungkan dalam aliansi dagang BRICS, yang dua anggotanya merupakan rival Washington yakni China dan Rusia, sementara sisanya merupakan Brasil, India, dan Afrika Selatan.
Ilustrasi dolar AS
- vstory
Sebuah laporan mengindikasikan bahwa mata uang baru aliansi ini akan diamankan dengan emas dan komoditas lain, termasuk elemen tanah jarang.
Sebenarnya, keinginan penggunaan mata uang lain di BRICS sudah tercetus sejak 2009. Dalam pertemuan pada Juni 2009, pemimpin negara anggota ingin menambah pengaruh di ekonomi dunia.
Namun, implementasi mata uang BRICS belum terealisasi hingga kini. Kemudian, sanksi Barat yang diberikan ke Rusia pascaserangan ke Ukraina membuat Moskow mencetuskan kembali isu ini pada 2023.
Pada akhir Maret, Presiden Rusia Vladimir Putin mengadopsi kebijakan luar negeri baru yang menempatkan India dan China di garis depan. Pengumuman itu muncul hanya beberapa hari setelah Presiden China Xi Jinping mengunjungi Moskow untuk lebih memperkuat kemitraan pada Maret.
Selain BRICS, negara berikutnya yang tertarik untuk mengurangi ketergantungan dolarnya adalah Arab Saudi. Di 2022, beredar kabar bahwa Riyadh sedang dalam pembicaraan aktif dengan China terkait penggunaan mata uang Yuan untuk membeli minyak.
The Wall Street Journal menulis, pembicaraan ini sebenarnya sudah terjadi selama enam tahun terakhir. Namun ketidaksenangan Negeri Raja Salman pada komitmen keamanan AS pada kerajaan beberapa dekade ini membuat pembicaraan dengan Beijing kian gencar.
Uang kertas rupiah dan dolar AS.
- VIVA/M Ali Wafa
"Arab Saudi marah atas kurangnya dukungan AS untuk intervensi mereka dalam perang saudara Yaman dan atas upaya pemerintahan Biden untuk mencapai kesepakatan dengan Iran mengenai program nuklirnya," tulis media itu mengutip sumber kala itu.
"Para pejabat Arab Saudi mengatakan mereka terkejut dengan penarikan mendadak AS dari Afghanistan tahun lalu," tambahnya.