Israel Ancam Operasi Militer di Teheran Terkait Nuklir, Pejabat Iran Tegaskan Siap Maksimalkan Pertahanan

VIVA Militer: Fasilitas nuklir Iran
Sumber :
  • nbcnews.com

Teheran, VIVA – Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Iran angkat suara terkait ancaman Israel pada Kamis, 27 Februari 2025. Mereka menyebut ancaman itu sebagai tindakan yang keterlaluan, setelah menteri luar negeri Israel memperingatkan ‘opsi militer’ mungkin diperlukan untuk menghentikan kemampuan nuklir Iran.

PKS Ingatkan Tipu Muslihat Israel, Usai Prabowo Siap Membuka Diplomatik Bila Akui Palestina

Dalam sebuah wawancara dengan Politico, Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar mengatakan Iran telah memperkaya uranium yang cukup untuk membuat "beberapa bom" dan waktunya hampir habis.

"Saya pikir untuk menghentikan program nuklir Iran sebelum dijadikan senjata, opsi militer yang andal harus dipertimbangkan," katanya Saar, dikutip dari Times of India, Jumat 28 Februari 2025.

Emosi Meluap! Isak Tangis Dubes Palestina Pecah saat Bacakan Data Korban Gaza di PBB

Suasana pembangunan kembali reaktor nuklir air berat di Kota Arak, Iran.

Photo :
  • ANTARA FOTO/West Asian News Agency

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Esmaeil Baqaei menggambarkan pernyataan tersebut sebagai ‘keterlaluan dan tidak rasional’.

PPP Respons Terobosan Diplomasi Ala Prabowo soal Kemerdekaan Palestina: Israel Harus Dihukum

"Menlu rezim Israel dan pejabat lainnya terus mengancam Iran dengan tindakan militer sementara Barat terus menyalahkan Iran atas kemampuan pertahanannya," kata jubir Kemlu Iran.

Baqaei menambahkan bahwa untuk wilayah yang diganggu oleh entitas pendudukan Israel, Iran hanya bertanggung jawab dan penting untuk memaksimalkan kemampuan pertahanan mereka.

Awal bulan ini, bersama Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio yang sedang berkunjung, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan Israel akan menyelesaikan tugasnya melawan Iran dengan dukungan Amerika Serikat.

Iran juga tidak mengakui Israel dan kedua negara telah menjadi musuh bebuyutan selama beberapa dekade. Mereka saling serang secara langsung tahun lalu untuk pertama kalinya dengan latar belakang meningkatnya ketegangan regional yang dipicu oleh perang Gaza.

Presiden AS Donald Trump, yang kembali ke Gedung Putih untuk masa jabatan kedua pada bulan Januari, telah memberlakukan kembali kebijakan tekanan maksimum berupa sanksi terhadap Iran, yang mencerminkan pendekatannya selama masa jabatan pertamanya.

Berdasarkan kebijakan ini, Amerika Serikat secara sepihak menarik diri dari kesepakatan nuklir 2015 antara Iran dan negara-negara besar dunia. Mereka menuduh Teheran mengejar senjata nuklir, tuduhan yang secara konsisten dibantah oleh Teheran.

Teheran mematuhi kesepakatan 2015 selama setahun setelah penarikan Washington, tetapi kemudian mulai mencabut komitmennya. Upaya untuk menghidupkan kembali pakta tersebut sejak itu goyah.

Menurut laporan rahasia Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), Iran telah meningkatkan persediaan uranium yang diperkaya secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir.

Iran menegaskan bahwa program nuklirnya semata-mata untuk tujuan damai dan menyangkal adanya niat untuk mengembangkan senjata atom.

Trump baru-baru ini pun menyerukan untuk mencapai kesepakatan dengan Iran, tetapi pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei kemudian mengatakan tidak ada masalah yang akan diselesaikan dengan bernegosiasi dengan Amerika.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya