Ekspansi Industri EV Tiongkok, Ada Ancaman Keruntuhan yang Mengintai
- Carscoops
Beijing, VIVA – Sektor kendaraan listrik (EV) di Tiongkok, yang sebelumnya dipandang sebagai simbol kemajuan industri negara tersebut, kini menghadapi tekanan besar yang mengancam fondasi keberlanjutannya.
Dibalik pertumbuhan pesatnya, kini terkuak tantangan struktural yang kompleks, mulai dari model bisnis yang rapuh, ketergantungan pada subsidi, hingga tekanan pasar global yang kian kompetitif, seperti dilansir Europeantimes
Salah satu latar belakang penting dalam ekspansi pesat ini adalah program ambisius "Made in China 2025", yang mendorong percepatan penguasaan teknologi tinggi oleh perusahaan-perusahaan domestik.
Dalam prosesnya, terdapat kekhawatiran internasional terkait dugaan praktik spionase siber oleh kelompok seperti APT41 dan Operation CuckooBees, yang dituding mencuri kekayaan intelektual dari produsen otomotif asing. Dugaan ini masih menjadi perdebatan di berbagai forum diplomatik dan belum semua terbukti secara hukum.
Dengan dukungan kebijakan dan subsidi besar-besaran dari negara, sektor EV di Tiongkok tumbuh secara masif. Pada puncaknya, ada hampir 500 produsen kendaraan listrik aktif, mulai dari perusahaan mapan seperti BYD hingga startup seperti Neta, Weltmeister, dan HiPhi. Namun, strategi ekspansi yang lebih menekankan kuantitas dibandingkan kualitas mulai memperlihatkan dampaknya: banyak perusahaan yang gagal mencapai keberlanjutan bisnis.
Contoh paling mencolok adalah Neta Auto, yang kini menghadapi restrukturisasi utang setelah sebelumnya memiliki valuasi lebih dari 25 miliar yuan. Ekspansi internasional mereka, termasuk di Thailand, menemui hambatan besar, seperti layanan purna jual yang tertutup, keluhan konsumen, serta persoalan garansi dan pasokan suku cadang.
Di dalam negeri, Neta terlibat dalam ratusan sengketa hukum dan persoalan gaji karyawan, yang berujung pada protes di beberapa titik.
Situasi serupa juga mulai dirasakan oleh raksasa EV Tiongkok BYD, yang menghadapi tekanan utang besar, dilaporkan mencapai hampir 600 miliar yuan. Beberapa dealer di wilayah seperti Shandong telah tutup, dan pemasok menyatakan adanya keterlambatan pembayaran yang signifikan. Meski perusahaan tetap menyatakan komitmen terhadap keberlanjutan operasionalnya, kekhawatiran pasar terhadap solvabilitas BYD meningkat.
Tekanan ini diperparah oleh perang harga yang kian intens. Selama Mei 2025, lebih dari 100 model kendaraan listrik memangkas harga, beberapa hingga 50.000 yuan. Strategi ini menekan margin keuntungan dan berdampak langsung ke industri pendukung seperti produsen baja dan baterai.
Asosiasi Industri Baja Tiongkok bahkan mengkritik praktik pemangkasan harga ini sebagai upaya menekan mitra rantai pasok hulu.
Selain aspek keuangan, krisis ini juga berdampak sosial. Para pekerja yang belum dibayar mulai melakukan aksi demonstrasi, sementara pemilik kendaraan mengeluhkan layanan purna jual yang memburuk. Garansi produk tidak selalu dapat dijalankan, dan nilai kendaraan listrik bekas mengalami depresiasi signifikan—dilaporkan hingga lebih dari 70 persen.
Kondisi ini juga tak lepas dari peran regulasi dan politik domestik. Meningkatnya keterlibatan Partai Komunis Tiongkok (PKT) dalam manajemen perusahaan swasta, termasuk melalui komite internal dan mekanisme pengawasan yang ketat, menimbulkan tantangan tersendiri.
Pengamat mencatat bahwa kebijakan top-down yang sebelumnya mendorong pertumbuhan cepat, kini justru membatasi fleksibilitas perusahaan dalam menanggapi dinamika pasar.
Dampak dari kondisi ini mulai terasa secara global. Negara-negara yang sebelumnya membuka diri terhadap produsen EV Tiongkok, kini harus menghadapi persoalan layanan, pengadaan suku cadang, hingga kepercayaan konsumen.
Kasus Neta di Thailand menjadi contoh awal dari risiko yang mungkin dihadapi oleh pasar internasional lainnya.
Secara strategis, ini menjadi ujian bagi model industri Tiongkok yang mengandalkan ekspansi cepat, subsidi negara, dan kendali terpusat. Ketika tekanan pasar menuntut efisiensi, inovasi, dan keberlanjutan jangka panjang, model ini menghadapi tantangan besar.
Waktu akan menentukan apakah sektor EV Tiongkok mampu bangkit kembali melalui reformasi menyeluruh, atau justru mengalami penyesuaian besar-besaran dalam arah kebijakan dan struktur industrinya.
Kisah kendaraan listrik Tiongkok mungkin tidak berakhir dengan inovasi dan dominasi, melainkan dengan utang, kekecewaan, dan melemahnya pengaruh. Alih-alih menjadi Tesla berikutnya, BYD mungkin dikenang sebagai Evergrande berikutnya, sebuah kerajaan yang dibangun di atas pasir.