Krisis Laut China Selatan: Ekologi Terancam, Geopolitik Memanas

VIVA Militer: Kepulauan Paracel di Laut China Selatan
Sumber :
  • The Times

VIVA – Eksploitasi sumber daya perairan Tiongkok tanpa henti telah memicu krisis lingkungan sekaligus meningkatkan ketegangan geopolitik di kawasan. Sungai, danau, hingga laut pesisir yang dulunya kaya biodiversitas kini mengalami penurunan drastis populasi ikan akibat penangkapan skala industri dan lemahnya penegakan hukum.

Lawan Arus! Bank Sentral Tiongkok Tahan Suku Bunga Pinjaman saat Dunia Gencar Kasih Stimulus

Dampak paling nyata terlihat di Laut China Selatan—wilayah yang menjadi titik api ekologi sekaligus arena perebutan geopolitik.

Menurunnya Stok Ikan, Meningkatnya Ketegangan

Hadiri CESC 2025, Ibas Yudhoyono Dorong Kerja Sama RI-Tiongkok Diperkuat

Laut Cina Selatan menyumbang 12 persen dari tangkapan ikan global, namun stok utama anjlok lebih dari 70 persen sejak 1950-an. Studi Marine Policy Journal 2022 menyebut hingga 90 persen spesies ikan komersial di kawasan ini dieksploitasi berlebihan. 

Armada penangkap ikan yang disubsidi negara Tiongkok, yang seringkali disertai milisi maritim, telah mendorong ekosistem ke ambang kehancuran. Hasilnya bukan hanya degradasi lingkungan tetapi juga krisis strategis.

Dibalik Ketahanan Pangan Tiongkok: Sungai Tercemar, Tanah Beracun

Dengan menipisnya perairan domestik, kapal-kapal penangkap ikan Tiongkok semakin sering memasuki zona ekonomi eksklusif (ZEE) negara-negara tetangga seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Penyerbuan ini, yang seringkali dikawal oleh penjaga pantai atau kapal angkatan laut, mengaburkan batas antara aktivitas sipil dan penegasan militer.

Pada Agustus 2025, militer dan penjaga pantai Tiongkok menggelar patroli "kesiapsiagaan tempur" di sekitar Beting Scarborough yang disengketakan, yang meningkatkan ketegangan dengan Filipina. Langkah-langkah tersebut dibingkai sebagai "menjaga kedaulatan" tetapi juga melindungi kepentingan penangkapan ikan Tiongkok di perairan yang disengketakan.

Dampak Ekologis dan Manusia

Perikanan di Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan diproyeksikan akan menghadapi penurunan produktivitas yang tajam akibat perubahan iklim dan penangkapan ikan berlebih, dengan dampak yang sangat serius terhadap masyarakat pesisir yang mengandalkan ikan sebagai sumber protein utama mereka.

Perairan pedalaman Asia—di dalam ZEE negara-negara pesisir—menyumbang 34 persen dari total produksi perikanan global, namun lebih dari separuh kapal penangkap ikan dunia beroperasi di Laut Cina Selatan. Nelayan tradisional yang bergantung pada hasil tangkapan berkelanjutan tergusur oleh armada industri yang menangkap ikan sepanjang tahun, seringkali secara ilegal.

Taktik “Zona Abu-abu” dan Kekuatan Maritim

Praktik penangkapan ikan Tiongkok bukan hanya tidak berkelanjutan—tetapi juga menimbulkan ketidakstabilan politik. Pengerahan kapal penangkap ikan bersama kapal penjaga pantai memungkinkan Beijing untuk menegaskan klaim teritorial tanpa konfrontasi militer terbuka.

Taktik ini telah menuai kritik internasional dan memperkuat persepsi Tiongkok sebagai kekuatan maritim yang koersif. Pada tahun 2025, Beijing dilaporkan menerima pesanan untuk membangun 60 persen kapal perang dunia, yang menggarisbawahi ambisinya untuk mendominasi jalur pelayaran global dan keamanan maritim.

Respon Regional dan Konservasi Strategis

Aktor-aktor regional lainnya sedang menyesuaikan diri. Vietnam, misalnya, telah beralih dari militerisasi ke konservasi, mengumumkan rencana untuk memperluas kawasan perlindungan laut (KKL) di Laut Cina Selatan dalam Strategi Kelautannya hingga 2030. KKL ini memiliki dua tujuan—restorasi ekologi dan daya ungkit strategis. Dengan memasukkan 27 KKL baru ke dalam kerangka kerja nasionalnya, Hanoi menunjukkan komitmennya terhadap keanekaragaman hayati sekaligus memperkuat jejak regulasinya di perairan yang disengketakan.

Tiongkok juga telah memberlakukan moratorium penangkapan ikan tahunan di beberapa wilayah Laut Cina Selatan, yang konon bertujuan untuk memulihkan stok ikan. Namun, penegakannya masih belum merata dan para kritikus berpendapat bahwa moratorium tersebut diterapkan secara selektif untuk memperkuat klaim teritorial.

Moratorium yang diluncurkan pada Mei 2025 ini mencakup perairan di utara garis lintang 12 derajat dan melibatkan patroli gabungan oleh Penjaga Pantai Tiongkok dan penegak hukum setempat. Namun, kapal-kapal yang sama yang bertugas menegakkan konservasi justru sering dituduh melakukan manuver agresif terhadap nelayan asing.

Dilema Internasional

Komunitas internasional menghadapi dilema. Di satu sisi, terdapat kebutuhan mendesak akan kerja sama lintas batas untuk memulihkan ekosistem laut dan mengamankan pasokan pangan. Di sisi lain, tindakan sepihak Tiongkok dan pengabaian hukum maritim internasional berisiko menggagalkan upaya multilateral. Meskipun Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) menawarkan kerangka kerja untuk penyelesaian sengketa, penegakannya lemah dan Beijing telah berulang kali menolak putusan arbitrase yang menantang klaimnya yang luas? 

Taruhan dan Jalan ke Depan

Perikanan lebih dari sekadar sumber pangan—perikanan merupakan poros stabilitas ekonomi dan perdamaian regional. Seiring menurunnya stok ikan, persaingan semakin ketat dan risiko konflik pun meningkat. Laut Cina Selatan, yang dulunya merupakan sumber daya bersama, kini menjadi medan pertempuran untuk memperebutkan kedaulatan, kelangsungan hidup, dan dominasi strategis.

Jika Tiongkok terus memprioritaskan ekstraksi jangka pendek daripada keberlanjutan jangka panjang, Tiongkok berisiko mengalami bukan hanya keruntuhan ekologis, tetapi juga isolasi diplomatik. Citranya sebagai aktor global yang bertanggung jawab terkikis, digantikan oleh narasi pemaksaan dan pengabaian lingkungan. Bagi negara-negara tetangga, tantangannya adalah menyeimbangkan pencegahan dengan diplomasi, konservasi dengan kedaulatan.

Jalan ke depan menuntut tindakan yang berani dan terkoordinasi. Kekuatan regional harus berinvestasi dalam ilmu kelautan, menegakkan kuota berkelanjutan, dan menahan godaan untuk memiliterisasi konservasi. Lembaga internasional harus meminta pertanggungjawaban para pelanggar dan mendukung pengembangan kapasitas bagi masyarakat pesisir yang rentan. Dan Tiongkok harus mengakui bahwa kepemimpinan maritim sejati bukanlah dominasi, melainkan pengelolaan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya