Dibalik Ketahanan Pangan Tiongkok: Sungai Tercemar, Tanah Beracun
- CIRS
VIVA – Upaya Tiongkok menjaga ketahanan pangan bagi lebih dari 1,4 miliar warganya berujung pada penggunaan bahan kimia besar-besaran di bidang pertanian, yang mengakibatkan polusi tanah dan air yang parah.
Tiongkok telah menerapkan model pertanian input tinggi yang mengutamakan hasil panen daripada keberlanjutan. Pupuk, pestisida, herbisida, dan stimulan pertumbuhan diterapkan secara masif di seluruh lahan pertanian negara itu, mengubah tanah yang tadinya subur menjadi zona jenuh kimia.
Meskipun strategi ini telah membantu Tiongkok mempertahankan swasembada pangan pokok seperti beras, gandum, dan jagung, strategi ini juga menimbulkan dampak lingkungan dan manusia yang besar, dan dampaknya yang semakin sulit diabaikan.
Penggunaan bahan kimia sintetis secara berlebihan di seluruh pusat pertanian Tiongkok, telah mencemari akuifer, sungai, dan danau di berbagai provinsi. Air yang dulunya menjadi sumber minum dan irigasi kini mengandung residu beracun yang mengancam ekosistem serta kesehatan masyarakat.
Masalah ini tidak hanya terjadi di beberapa wilayah – meluas dari pertanian industri di Hebei dan Shandong hingga persawahan di Hunan dan kawasan sayuran di Guangdong.
Data Sensus Sumber Polusi Nasional Kedua mencatat, sumber-sumber pertanian di Tiongkok memancarkan 1,41 juta ton nitrogen total dan 0,21 juta ton fosfor total, masing-masing menyumbang 46,5% dan 67,2% dari total emisi polutan air nasional.
Angka-angka ini menggarisbawahi skala limpasan pertanian yang mencemari sistem air tawar Tiongkok. Di beberapa provinsi, hingga 70% sampel air tanah dinyatakan positif mengandung polutan kimia yang terkait dengan penggunaan pupuk dan pestisida.
Sungai-sungai seperti Huai dan Yangtze, yang menopang jutaan rumah dan mata pencaharian, semakin terbebani oleh eutrofikasi, suatu proses penipisan oksigen akibat kelebihan nutrisi yang membunuh kehidupan akuatik dan membuat air tidak layak konsumsi.
Degradasi ini tidak hanya berdampak ekologis; tetapi juga ekonomi dan sosial, yang memengaruhi perikanan, akses air minum, dan kesehatan pedesaan.
Kontaminasi tidak terbatas pada air. Sebuah studi tahun 2025 yang diterbitkan dalam jurnal Science (Journal) mengungkapkan bahwa sebagian besar wilayah Tiongkok selatan tercemar oleh logam berat beracun seperti kadmium, arsenik, dan nikel.
Kadmium sendiri melebihi batas aman di 9% tanah di dunia, dengan titik-titik panas di Tiongkok selatan dan wilayah-wilayah tetangga di Asia Selatan. Logam-logam ini tidak terdegradasi seiring waktu, menjadikannya ancaman berkelanjutan bagi kesuburan tanah dan keamanan pangan.
Degradasi tanah semakin cepat, dengan logam berat dan polutan organik persisten terakumulasi di lahan pertanian pada tingkat yang mengkhawatirkan. Bahan kimia ini tidak hanya mengurangi produktivitas tanah, tetapi juga memasuki rantai makanan melalui tanaman, ternak, dan ikan.
Jejak pestisida terlarang dan senyawa karsinogenik telah terdeteksi pada sayuran yang dijual di pasar perkotaan, menimbulkan kekhawatiran serius tentang dampak kesehatan jangka panjang.
Meskipun bukti semakin kuat, respons regulasi Tiongkok masih lemah. Pemerintah daerah seringkali tidak memiliki kapasitas atau kemauan politik untuk menegakkan standar lingkungan, terutama ketika hasil pertanian dikaitkan dengan metrik kinerja ekonomi.
Kementerian Pertanian telah mengeluarkan pedoman tentang "pertanian hijau" dan "pertumbuhan nol" dalam penggunaan pupuk, tetapi implementasinya tidak merata dan dirusak oleh insentif yang mengakar untuk memaksimalkan hasil panen dengan segala cara.
Konsekuensi kesehatan dari ketergantungan zat kimia ini sungguh memprihatinkan. Masyarakat pedesaan yang tinggal di dekat zona pertanian intensif melaporkan insiden gangguan gastrointestinal, penyakit kulit, dan bahkan kanker yang lebih tinggi.
Anak-anak yang terpapar sumber air terkontaminasi sangat rentan, dengan beberapa wilayah menunjukkan peningkatan angka masalah perkembangan dan cacat lahir. Namun, kisah-kisah ini jarang masuk ke dalam narasi resmi, yang terus merayakan produktivitas pertanian sebagai sebuah kemenangan perencanaan nasional.
Pendekatan Tiongkok mencerminkan ketegangan yang lebih luas antara ketahanan pangan jangka pendek dan ketahanan ekologi jangka panjang. Memberi makan populasi besar memang merupakan tantangan logistik, tetapi melakukannya melalui saturasi bahan kimia merupakan pertaruhan yang berbahaya.
Model pertanian Tiongkok, yang dibangun di atas etos "lebih banyak masukan, lebih banyak keluaran", kini berbenturan dengan batas toleransi lingkungan.
Alternatif Pertanian Organik
Terdapat alternatif. Pengendalian hama terpadu, pertanian organik, rotasi tanaman, dan pertanian presisi menawarkan cara untuk mengurangi ketergantungan bahan kimia sekaligus mempertahankan produktivitas. Beberapa program percontohan di Zhejiang dan Sichuan telah menunjukkan hasil yang menjanjikan, dengan para petani mengadopsi pupuk hayati dan pengusir hama alami.
Namun, peningkatan skala inisiatif ini membutuhkan reformasi sistemik, pertimbangan ulang subsidi, pelatihan ulang petani, dan investasi dalam teknologi berkelanjutan.
Kepemimpinan Tiongkok juga harus menghadapi dampak kemanusiaan dari strategi pertaniannya. Kesehatan warganya tidak dapat dikorbankan demi target produksi. Pemantauan yang transparan, pengungkapan data kontaminasi kepada publik, dan program pengujian air berbasis masyarakat merupakan langkah penting menuju akuntabilitas.
Lebih lanjut, LSM lingkungan dan peneliti independen harus diberdayakan, dan bukan ditindas, untuk menyelidiki dan melaporkan tingkat polusi kimia yang sebenarnya.
Praktik pertanian Tiongkok memiliki implikasi yang melampaui batas wilayahnya. Limpasan yang terkontaminasi mengalir ke sungai-sungai lintas batas, yang berdampak pada negara-negara tetangga.
Produk pangan yang diekspor mungkin mengandung residu kimia yang melanggar standar keamanan di tempat lain. Sebagai produsen dan konsumen bahan kimia pertanian terbesar di dunia, Tiongkok memiliki tanggung jawab untuk memimpin, bukan tertinggal, dalam transisi global menuju pertanian berkelanjutan.
Taruhannya tinggi. Penggunaan bahan kimia yang berlebihan secara terus-menerus tidak hanya akan merusak sumber daya alam Tiongkok, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap sistem pangannya.
Ilusi kelimpahan tidak dapat menutupi kenyataan air yang tercemar, tanah yang beracun, dan kesehatan yang terganggu. Jika Tiongkok ingin benar-benar menyehatkan rakyatnya, ia harus beralih dari intensitas bahan kimia ke integritas ekologis.
Pada akhirnya, pertanyaannya bukanlah apakah Tiongkok mampu memberi makan penduduknya: melainkan apakah Tiongkok mampu melakukannya tanpa meracuni tanah dan air yang menopang kehidupan. Jawabannya bukan terletak pada lebih banyak bahan kimia, melainkan pada keberanian yang lebih besar: keberanian untuk melakukan reformasi, mengatur, dan memprioritaskan kesehatan daripada panen.