Memprihatinkan, Murid SD Bersekolah di Gedung Bobrok

- bbc
"Tahun 2018 kami survey 318 sekolah (di Bogor), ternyata dapodiknya sampah. Di dapodik tertulis sekolah bagus, faktanya sekolah ada yang rusak dan hampir ambruk," kata Syamsuddin kepada BBC News Indonesia di Bogor.
Akibatnya, kata Syamsuddin, penyaluran dana menjadi tidak tepat sasaran.
"Data yang tidak valid menyebabkan potensi korupsi, bisnis, contohnya di Bogor, seperti Rumpin dan Ciomas. Satu sekolah terus diperbaiki padahal sudah baik, sekolah di sebelahnya tidak pernah diperbaiki padahal sudah mau roboh," kata Syamsuddin.
Syamsuddin menuding `dapodik sampah` muncul karena tidak pernah ada verifikasi oleh dinas pendidikan daerah dan kementerian, atau adanya unsur pembiaran atau kesengajaan untuk menciptakan data yang tidak valid.
"Kalau tidak punya data bisa korupsi. Tidak bisa dipukul rata, satu ruang kelas Rp100 juta di Parung sama dengan di Sirna Asih, karena ada perbaikan atap, tembok, lantai, itu beda-beda dananya," katanya.
"Jika data tidak akurat, maka tidak bisa selesai sampai kapanpun sekolah rusak."
Kedua, adalah metode proposal. Menurut Syamsuddin, sekolah rusak, contohnya di Bogor, harus mengajukan proposal kepada pemda untuk perbaikan. Padahal, sekolah adalah aset pemda.
"Karena bentuknya proposal maka siapa yang dekat itu yang dapat. Terbukti saat itu, sekolah belum terlalu rusak diperbaiki, ada sekolah rusak parah tidak diperbaiki padahal aktif mengajukan proposal," kata Syamsuddin.
Sistem proposal, kata Syamsuddin, juga menyebabkan proses perbaikan menjadi lama dan penuh dengan ketidakpastiaan.
"Roboh hari ini, terus pakai sistem proposal, dibawa ke musrenbang desa, musrenbang kecamatan, ke pemda dan dibahas, dimasukkan anggaran tahun depan. Butuh satu tahun, dan jika disetujui, kalau tidak? Murid SD nasib nya bagaimana?" katanya.
"Harusnya melalui dapodik, lalu diverifikasi di lapangan, bukan malah proposal yang tidak objektif dan tidak tepat sasaran," kata Syamsuddin.
Ketiga, dana perbaikan ruang kelas yang menggunakan anggaran pemda boros. Padahal kata Syamsuddin, dengan biaya yang sama, masyarakat bisa membangun lebih.
"Studi kami, yang dibiayai pemda rata-rata Rp150 juta sampai Rp200 juta. Masyarakat yang kerjakan cukup Rp80 juta dan lebih dari Rp100 juta bisa buat satu ruang kelas. Anggarannya pemda terhadap perbaikan terlalu mahal dan boros," katanya.
Hal itu menyebabkan, kata Syamsuddin, penggunaan anggaran menjadi tidak efektif dan maksimal karena jumlah ruang kelas yang diperbaiki terbatas.
Terakhir, adalah penyalahgunaan system swakelola yang tidak dikerjakan oleh masyarakat, melainkan oleh pihak ketiga atau pemborong yang ditunjuk langsung.
Pola tersebut, kata Syamsuddin, memunculkan istilah "terima kunci", artinya pihak sekolah tidak terlibat proses perbaikan, melainkan terima jadi atau dikenal dengan terima kunci.
"Masih ada pemborong yang didrop . Kita temukan tahun kemarin. Namanya swakelola, tapi pemborong dari luar yang mengerjakan," kata Syamsuddin.
"Tidak mungkin ada masuk pemborong tanpa ada action yang mengakomodir pemborong itu masuk, apalagi pemborong itu datang dari luar lingkungan itu (masyarakat)."
Akibatnya biaya yang dikeluarkan menjadi besar, dan kualitas bangunan menjadi rendah.
"Umur teknis bangunan sebenarnya 14 tahun, tapi ternyata ada bangunan diperbaiki dengan dana DAK tidak lama, tidak lebih lima tahun roboh, bahkan ada cuma dua tahun platfon jatuh, karena kualitas, tembok pecah," katanya.