Komjen Dedi: Pendidikan Sejati Bukan Dimulai dari Skor Ujian Semata
- Istimewa
Jakarta, VIVA – Hari Pendidikan Nasional seharusnya menjadi titik balik, bukan sekadar perayaan seremonial, melainkan ruang kontemplasi mendalam terhadap arah moral dan martabat pendidikan.
Namun ironi kembali terulang tahun ini, gaung Hari Pendidikan Nasional nyaris tenggelam oleh satu kenyataan pahit masifnya kecurangan dalam Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK).
Di tengah sistem pengamanan digital paling mutakhir yakni biometrik, pelacakan lokasi, pengacak soal, namun kecurangan tetap lolos. Dan lebih memilukan, banyak dari itu bukan karena kecerdikan siswa, melainkan karena konspirasi diam-diam orang tua.
Associate Professor Program Vokasi UI, Devie Rahmawati mengatakan, hal ini bukan sekadar krisis akademik, tetapi gempa moral yang mengguncang akar budaya pengasuhan kita.
“Budaya parenting kita hari ini adalah bencana,” kata Devie.
Ia menjelaskan, peneliti Kay Hymowitz dari Institute for Family Studies menyebut, orang tua modern begitu terobsesi pada hasil ranking, gelar, seleksi masuk PTN hingga lupa bahwa pendidikan sejati adalah tentang karakter dan kejujuran. Anak-anak didorong untuk menang, bukan untuk benar. Mereka diajarkan cerdas, bukan jujur.
Penelitian dari University of Southern Queensland (2023) bahkan menunjukkan dampak nyata dari pola asuh seperti kecemasan, manipulasi, hingga fleksibilitas etika pada remaja.
“Ada korelasi kuat antara gaya pengasuhan permisif dan berkembangnya perilaku tidak jujur di kalangan remaja,” tambah Devie, penulis buku Communication Technology and Society: Exploring The Multicultural and Digital World.
Lebih lanjut, ia mengatakan, bencana ini bukan hanya milik Indonesia. Studi Pew Research Center (2024) mencatat bahwa 77% orang tua di AS mengakui mereka membesarkan anak dengan cara yang jauh berbeda dari generasi sebelumnya.
Nilai-nilai seperti kerja keras, hormat, dan kejujuran mulai digantikan ambisi, kecepatan, dan pencitraan. Lebih dari 60% orang tua bahkan menyatakan anak-anak kini tumbuh menjadi lebih tidak jujur, tidak hormat, dan malas dibanding generasi mereka dulu.
"Tsunami perubahan ini menghantam lintas benua. Dan gelombangnya dimulai dari rumah,” tegas Devie, peneliti Kecanduan Game Online.
Dalam makalah Dishonesty: From Parents to Children (2019), ditemukan bahwa anak-anak belajar kebohongan pertama mereka bukan dari media sosial atau teman sebaya, melainkan dari orang tuanya sendiri.
Ketika seorang ayah memaksa anak belajar keras, tapi diam-diam membayar joki UTBK. Lalu ketika ibu mengeluh anak tidak sopan, padahal ia sendiri memaki guru di depan anak.
“Kita bukan hanya outsourcing waktu kita sebagai orang tua,” ujar Devie, mengutip riset Outsourcing Parenthood? dari Wisconsin School of Business, “tapi juga outsourcing empati, nilai, dan tanggung jawab. Orang tua hari ini seperti CEO yang menyerahkan fungsi pengasuhan pada aplikasi, guru les, dan konsultan," tambahnya.
Namun di tengah kegaduhan moral ini, masih ada cahaya kecil. SMA Kemala Taruna Bhayangkara (KTB) memilih arah yang berbeda. Irwasum Polri Komjen Dedi Prasetyo mengatakan, SMA KTB tidak hanya menilai kemampuan akademik siswa, tetapi juga komitmen keluarga terhadap pendidikan karakter.
"Karena kami percaya anak bukan dibentuk oleh sekolah saja, tetapi oleh ekosistem rumah," kata Dedi yang merupakan guru besar UNISULA dan Ketua Yayasan Kemala Taruna Bhayangkara.
Dedi menuturkan, salah satu elemen kunci dalam seleksi masuk sekolah ini adalah wawancara orang tua. Hal ini bukan hanya formalitas. Pihaknya ingin tahu nilai apa yang hidup di rumah dan apakah orang tua siap menjadi mitra sekolah, bukan hanya penonton di tribun.
Temuan ini sejalan dengan riset Edutopia (2023) dan Ramagya School (2024), yang menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua secara aktif dalam proses pendidikan, terutama melalui wawancara keluarga dapat meningkatkan keadilan, pemahaman lintas budaya, dan keberhasilan akademik jangka panjang.
“Sekolah bukan tempat penitipan anak. Pendidikan tidak bisa berjalan satu arah. Karakter tidak diajarkan lewat soal try out. Ia tumbuh lewat teladan sehari-hari," ujarnya.
Maka, pada Hari Pendidikan Nasional ini, ia pun meminta perlu berhenti sejenak. Bertanya dengan jujur apakah kita sedang membesarkan generasi pembelajar sejati, atau hanya generasi pemalsu sukses?
“Pendidikan sejati bukan dimulai dari skor ujian semata. Ia tumbuh dari meja makan yang penuh diskusi, dari pelukan yang memberi rasa aman, dan dari keberanian untuk mengakui bahwa gagal itu manusiawi, dan curang itu tidak. Masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh algoritma seleksi perguruan tinggi. Ia ditentukan oleh karakter anak-anak yang kita besarkan hari ini dan siapa yang berani menjadi orang tua sungguhan di zaman yang serba instan ini,” kata Dedi.