Intoleransi Berujung Pidana di Sukabumi, Anggota DPR Soroti Keberanian Negara Lindungi Hak Asasi Rakyatnya
- VIVAnews/Fernando Randy
Jakarta, VIVA - Insiden pembubaran ibadah umat Kristen di Sukabumi, Jawa Barat jadi sorotan DPR. Aksi itu sebagai pelanggaran intoleransi dan merupakan preseden buruk.
Demikian disampaikan Anggota Komisi III DPR RI, Sarifudin Sudding. Ia bilang negara tak boleh kalah oleh tekanan kelompok mana pun dalam menjamin hak konstitusional warganya untuk beribadah.
“Ini bukan semata soal disharmoni sosial, ini menyangkut soal kepastian hukum dan keberanian negara dalam melindungi hak asasi rakyatnya. Perlu kembali ditegaskan bagi semua pihak, beribadah adalah hak konstitusional setiap warga negara,” kata Sudding, Rabu, 2 Juli 2025.
Sudding menyampaikan sikap intoleransi sangat bertentangan dengan prinsip negara Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila. Apalagi, menurut dia, hal itu dibarengi dengan perbuatan pidana seperti pengrusakan fasilitas pribadi hingga ancaman dan intimidasi.
“Ketika ibadah yang sah dibubarkan oleh tekanan kelompok, maka yang tercederai bukan hanya minoritas agama, tapi prinsip keadilan dan supremasi hukum itu sendiri,” jelas Sudding.
Anggota Komisi III DPR RI Syarifuddin Suding
- DPR RI
Lebih lanjut, dia minta agar Pemerintah bisa memfasilitasi anak-anak dan remaja peserta retret. Ia bilang kondisi itu terutama yang mengalami trauma akibat melihat aksi kekerasan dan anarkisme.
“Pastikan anak-anak yang menjadi korban kekerasan mental ini mendapat perlindungan dari negara. Jika diperlukan, berikan fasilitas trauma healing,” ujar Sudding.
Kemudian, ia menekankan hak atas kebebasan beragama dan beribadah dijamin oleh UUD 1945. Ia bilang hal itu tak bisa dibatalkan oleh opini mayoritas atau tekanan lokal.
“Pembubaran ibadah yang tidak didasarkan pada putusan hukum atau alasan yang sah secara administratif harus dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana,” tutur politikus PAN itu.
Insiden intoleransi di Sukabumi berawal saat anak-anak dan remaja dari gereja di Tangsel datang ke vila untuk mengikuti retret saat libur sekolah. Kegiatan itu dilakukan dalam program reflektif yang juga dikemas melalui permainan.
Namun, tiba-tiba sejumlah warga datang dan membubarkan paksa acara tersebut. Alasan pembubaran itu karena rumah singgah atau vila itu tidak memiliki izin sebagai tempat ibadah.
Aksi pembubaran itu dilakukan dengan pengrusakan dan intimidasi.
Sekretaris Umum DPP Gamki, Alan Christian Singkali mengatakan ada pengambilan paksa simbol keagamaan yakni salib. Cara itu melukai batin umat kristiani dan merusak nilai toleransi yang menjadi pondasi bangsa.
