Ramai-ramai Menolak Pembangunan Vila hingga Restoran di Pulau Padar

Pulau Padar di Taman Nasional Komodo
Sumber :
  • tvOne/Jo Kenaru

Labuan Bajo, VIVA – PT Palma Hijau Cemerlang yang menurut isu beredar berafiliasi dengan taipan terkenal Tomy Winata (TW) berencana mendirikan bisnis wisata berskala besar di Pulau Padar. Jejak bisnis TW masuk melalui perjanjian kerja sama dengan Balai Taman Nasional Komodo (BTNK).

Pulau Padar Mau Dibangun Resort, Evita Nursanty: Bertentangan dengan Semangat Konservasi

Pendiri Artha Graha Peduli, Tomy Winata bahkan turun langsung menggelar dialog dengan masyarakat yang bermukim dalam kawasan TNK pada 30 Oktober 2024 lalu.

Areal konsesi PT PHC yang telah disepakati adalah 5.815,3 hektare meliputi perairan dan daratan Pulau Padar salah satu spot dalam kawasan Taman Nasional Komodo yang ramai dikunjungi turis.

Ancam Cabut Izin Konsesi, Bahlil Evaluasi 10 Sumur Migas 'Nganggur'

Pulau Padar Labuan Bajo NTT

Photo :
  • VIVA.co.id/Bimo Aria

Diberitakan, total 448 vila dan 13 restoran akan dibangun di Pulau Padar. Ada juga sebuah bar raksasa seluas 1.200 m2. Selain itu 7 lounge, 7 gym center, 7 spa center, 67 kolam renang, sebuah Hilltop Chateau (bangunan kastel/istana bergaya Perancis), dan sebuah wedding chapel (gereja yang dipakai untuk acara pernikahan).

Tomy Winata Singgung Lapangan Kerja hingga Masalah PHK di Depan Prabowo

Disebutkan, fasilitas wisata eksekutif itu dibangun oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) selaku pemegang izin usaha sarana pariwisata alam sejak tahun 2014 melalui SK Menteri Kehutanan No:SK.796/Menhut-II/2014, yang memiliki Lokasi izin usaha sarana berada di zona pemanfaatan Pulau Padar. Menurut Kemenhut, pengusahaan wisata alam merupakan amanah UU 5 tahun 1990 jo UU 32 tahun 2024 yang dapat dilakukan di Zona Pemanfaatan.

Perubahan zona konservasi yang mestinya jadi benteng terakhir perlindungan hayati, diam-diam diatur untuk membuka ruang wisata. Izin didapat lewat siasat regulasi, dan seringkali dikaitkan dengan figur-figur penguasa atau hubungan patron-klien ke pemerintah pusat.

Tidak heran jika suara protes semakin nyaring. Gelombang petisi, permohonan pencabutan izin, serta desakan kepada Presiden dan Kementerian Kehutanan agar aksi bisnis skala besar ini dihentikan terus bergulir.

Masyarakat dan organisasi sipil menuntut pemerintah dan UNESCO menjaga prinsip utama: Komodo harus tetap menjadi warisan dunia, bukan ladang investasi tak terkendali.

Petisi Tolak Bisnis di Taman Nasional Komodo

Forum Masyarakat Sipil Flores (Formasi Flores) membuat petisi melalui situs change.org yang sudah ditandatangani 4.880 orang pada Rabu, 13 Agustus 2025.

Formasi Flores menentang keras kerja sama konsesi pada Situs Warisan Dunia, Taman Nasional Komodo (TNK).

Dua perusahaan lain, yaitu PT Segara Komodo Lestari dan PT Sinergindo Niagatama, juga telah mendapat konsesi, masing-masing di Pulau Rinca dan Pulau Tatawa.

“Kami mendesak Presiden Prabowo Subianto dan Kementerian Kehutanan untuk segera mencabut konsesi perusahaan-perusahaan ini dan menghentikan semua rencana mereka,” tulis Formasi Flores dalam petisi change.org.

Organisasi masyarakat sipil ini juga meminta UNESCO untuk terus konsisten menegakkan prinsip-prinsip pengelolaan Situs Warisan Dunia dan tidak memberikan persetujuan atas rencana Pemerintah Indonesia demi menjaga Universal Outstanding Values (OUV) atau Nilai Universal Luar Biasa Taman Nasional Komodo, yaitu bentang alam yang unik sebagai satu-satunya habitat alami Komodo.

“Seluruh pemberian konsesi dan pendirian pusat-pusat bisnis ini tidak dapat dibenarkan,” tekan Formasi Flores.

5 Alasan Formasi Flores Tolak Konsesi di TNK

Sedikitnya terdapat lima alasan forum menolak bisnis pariwisata di Taman Nasional Komodo:

Pertama, kebijakan ini memperparah ketidakadilan terhadap masyarakat setempat sebagai pemilik hak ulayat, yang pada 1980-an wilayahnya diambil untuk menjadi kawasan taman nasional. Wilayah yang kini menjadi Taman Nasional Komodo adalah ruang hidup mereka, termasuk Ata Modo yang merupakan penduduk asli Pulau Komodo dan kini berdesak-desakan hidup di atas lahan seluas 17 hektare.

Sementara sebelumnya wilayah ini dirampas secara paksa dari mereka demi alasan konservasi, kini perusahaan milik segelintir orang menguasainya dengan konsesi ratusan hektare. 

Kedua, konsesi-konsesi bisnis ini adalah hasil dari siasat utak-atik zonasi Taman Nasional Komodo. Pemberian izin kepada PT KWE pada 2014 terjadi setelah pada 2012 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan-yang kini menjadi Kementerian Kehutanan-mengonversi 303,9 hektare di Pulau Padar menjadi zona pemanfaatan wisata darat dari sebelumnya secara keseluruhan sebagai zona inti dan zona rimba. Ini adalah taktik manipulatif yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga ikut jadi sorotan UNESCO karena tidak dilaporkan kepada lembaga PBB tersebut.

Ketiga, proses pemberian konsesi ini sarat dengan praktik korupsi kebijakan. Pemilik ketiga perusahaan itu bukanlah entrepreneur murni atau profesional. Mereka adalah sekaligus pejabat negara yang memiliki akses langsung dan tidak langsung pada perumusan kebijakan atau memiliki koneksi sangat dekat dengan pembuat kebijakan. Dengan memanipulasi regulasi, memanfaatkan jejaring kekuasaan, serta relasi patronase di pemerintahan, mereka mengubah taman nasional yang semestinya menjadi benteng terakhir perlindungan keanekaragaman hayati menjadi mesin bisnis privat. Konservasi menjelma menjadi kamuflase, birokrasi berubah menjadi makelar kepentingan oligarki.

Keempat, praktik monopoli bisnis ini merugikan iklim investasi yang sehat. Banyak entrepreneur profesional, mulai dari skala kecil di komunitas hingga perusahaan besar membuka bisnis sarana dan jasa wisata alam di Pulau Flores. Dalam konteks bertumbuhnya investasi ini, mengizinkan perusahaan untuk berinvestasi di jantung destinasi dengan memanfaatkan kedekatan dengan kekuasaan adalah sebuah praktik monopoli yang tidak saja akan berdampak buruk bagi usaha kecil dan pariwisata berbasis komunitas yang kalah bersaing, tetapi juga perusahaan-perusahan besar di Labuan Bajo yang membangun bisnis dengan cara-cara yang sehat.

Kelima, pusat-pusat bisnis di dalam habitat Komodo merusak reputasi pariwisata Indonesia, termasuk Flores, yang didesain sebagai pariwisata berkelanjutan dengan basis kelestarian alam dan budaya serta distribusi manfaat seadil-adilnya bagi masyarakat setempat. 

Petisi yang dibubuhi tagar #SavePadar#SaveKomodo#SaveKomodoNationalPark juga ditembuskan kepada Presiden Prabowo Subianto, Kementerian Kehutanan serta UNESCO.

Laporan Jo Kenaru/ NTT

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya