Pulau Padar Mau Dibangun Resort, Evita Nursanty: Bertentangan dengan Semangat Konservasi
- Antara
Jakarta, VIVA – Kementerian Kehutanan diminta untuk mengkaji ulang pemberian Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK). Hal tersebut dinilai tidak sejalan dengan prinsip konservasi, pembangunan pariwisata berkelanjutan, serta berpotensi merugikan masyarakat lokal.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Evita Nursanty mengungkapkan hal tersebut guna menanggapi protes dari masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, DPRD setempat, dan berbagai pihak lainnya terhadap rencana pembangunan resort dengan 619 fasilitas wisata oleh PT Kencana Watu Lestari (PT KWT) di Pulau Padar. Serta, oleh perusahaan-perusahaan lain yang beroperasi di dalam kawasan TNK. PT KWT disebut memiliki konsesi selama 55 tahun di kawasan tersebut.
“Kita menyadari pentingnya dukungan infrastruktur pariwisata, terutama di destinasi super prioritas seperti Labuan Bajo dan sekitarnya. Namun, jika pembangunan resort dan infrastruktur dilakukan secara masif di Pulau Padar, Pulau Rinca, dan pulau-pulau lain di dalam kawasan TNK, maka hal itu harus dihentikan apabila bertentangan dengan semangat konservasi,” ujar Evita dikutip dari keterangannya, Rabu, 6 Agustus 2025.
“Apalagi hal ini berpotensi merusak Outstanding Universal Value (OUV) TNK sebagaimana yang telah diingatkan oleh UNESCO. Bila ingin membangun, sebaiknya dilakukan di luar kawasan taman nasional,” tambahnya.
Menurut Evita, permintaan untuk mengkaji ulang izin-izin tersebut, termasuk perubahan zonasi sejak tahun 2012, adalah hal yang sangat wajar. Jika perubahan zonasi tersebut terbukti mengganggu habitat komodo, maka sudah seharusnya dikembalikan ke zonasi sebelumnya, yakni dari zona pemanfaatan menjadi zona inti atau zona rimba.
Artinya, tidak boleh ada pembangunan resort atau fasilitas wisata dalam kawasan taman nasional, dan seluruh aktivitas semestinya diarahkan ke luar kawasan.
Pulau Padar Labuan Bajo NTT
- VIVA.co.id/Bimo Aria
“Komodo adalah satwa liar yang bergerak bebas tanpa mengenal batas zonasi. Jika pembangunan dilakukan secara masif di dalam kawasan, maka ruang hidup komodo akan semakin terdesak karena peningkatan aktivitas manusia. Oleh karena itu, penataan ruang harus dilakukan secara cermat dan tidak boleh sembarangan diubah-ubah. Kita mendengar bahwa UNESCO sangat prihatin terhadap perubahan zonasi tahun 2012 tersebut,” lanjut Evita.
Politisi PDI Perjuangan ini menegaskan bahwa TNK yang juga merupakan situs Warisan Dunia UNESCO harus mendapatkan perhatian khusus. “Status taman nasional ini tidak bisa disamakan dengan taman nasional lain. Setiap proyek pembangunan harus dinilai secara menyeluruh dengan pendekatan analisis dampak dalam konteks situs warisan dunia,” tegasnya.
Diketahui, PT KWT memperoleh konsesi di Pulau Padar seluas 426,07 hektar berdasarkan SK No. 796/Menhut-II/2014, sementara PT Segara Komodo Lestari (PT SKL) mendapat konsesi seluas 22,10 hektar di Loh Buaya, Pulau Rinca, melalui SK No. 7/1/IUPSWA/PMDN/2015.
Pemberian izin ini dimungkinkan setelah terjadinya perubahan zonasi TNK pada tahun 2012, dari zona konservasi menjadi zona pemanfaatan, yang diduga saat itu tidak dilaporkan kepada UNESCO. Undang-Undang di Indonesia memang memperbolehkan pembangunan di zona pemanfaatan, namun tidak berlaku untuk zona inti dan rimba.
Perlu diingat bahwa TNK telah ditetapkan sebagai situs Warisan Dunia oleh UNESCO sejak tahun 1991, jauh sebelum izin-izin usaha tersebut diberikan. Pada tahun 2021, UNESCO bahkan telah mengeluarkan peringatan kepada Pemerintah Indonesia terkait pembangunan yang terlalu masif di kawasan TNK.
Wisatawan kunjungi Pulau Padar
- Jo Kenaru (Manggarai-NTT)
Menteri Kehutanan sebelumnya sempat mengeluarkan SK evaluasi terhadap izin IUPSWA melalui SK No. SK.01/MenLHK/Setjen/Kum.1/1/2022, namun izin-izin tersebut tampaknya tetap berjalan.
Evita mengingatkan bahwa Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dalam Pasal 33, menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengubah keutuhan zona inti taman nasional. Sementara dalam Pasal 35 disebutkan bahwa pemerintah berwenang menghentikan pemanfaatan dan bahkan menutup taman nasional jika dibutuhkan.
“Kita juga mendorong adanya partisipasi yang lebih besar dari masyarakat adat dan lokal dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi seluruh aktivitas yang berkaitan dengan taman nasional. UU No. 5 Tahun 1990 menegaskan bahwa konservasi adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Sayangnya, masyarakat justru seringkali tidak dilibatkan,” kata Evita.
Sebagai penutup, Evita juga mendorong dilakukannya audit independen terhadap seluruh proyek pariwisata yang sedang berjalan di TNK. Ia menekankan bahwa setiap proyek harus sejalan dengan standar perlindungan situs warisan dunia UNESCO.
“Sekali lagi, saya minta agar suara UNESCO benar-benar diperhatikan. Jangan sampai status warisan dunia Komodo ini dicabut karena aktivitas bisnis yang mengancam kelestarian komodo serta nilai alam dan budaya kawasan ini,” pungkasnya.