Kisah Pelaku Mutilasi di Kediri Divonis Penjara Seumur Hidup
- Asmaul/ANTARA
Kediri, VIVA – Perjalanan hidup seorang pria berinisial RTH alias A (32), warga Tulungagung, berakhir tragis di balik jeruji besi. Ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup setelah terbukti melakukan pembunuhan disertai mutilasi terhadap seorang wanita berinisial UK.
Kasus ini bermula dari penemuan mayat wanita tanpa kepala di dalam koper berwarna merah pada Kamis, 23 Januari 2025, di Desa Dadapan, Kecamatan Kendal, Kabupaten Ngawi. Kondisi jasad sangat mengenaskan. Kepala korban hilang, bagian kaki kiri dari pangkal paha juga tidak ada, begitu pula kaki kanan dari lutut ke bawah.
Jasad Perempuan Tanpa Kepala dan Kaki Ditemukan dalam Koper Merah
- YouTube @tvOne
Polisi yang melakukan autopsi menemukan dugaan penyebab kematian korban karena kehabisan napas akibat jalan pernapasan terhambat, kemungkinan besar akibat cekikan.
Tak lama berselang, pada Sabtu, 25 Januari 2025, polisi menangkap RTH alias A. Ia mengaku nekat membunuh karena sakit hati terhadap korban.
Sebelum kejadian, pada Minggu, 19 Januari 2025, korban diajak bertemu di Terminal Gayatri Tulungagung. Dari sana, pelaku membawa korban ke sebuah hotel di Kediri. Di kamar penginapan itu, korban dicekik hingga tewas pada Senin dini hari, 20 Januari 2025, sekitar pukul 00.30 WIB.
Setelah memastikan korban meninggal, RTH melakukan mutilasi. Tubuh korban dipotong-potong lalu dibuang di beberapa lokasi berbeda. Bagian tubuh utama dimasukkan ke koper dan ditinggalkan di Ngawi, potongan kaki dibuang di Ponorogo, sementara kepala dibuang di Trenggalek.
Akhirnya, perjalanan kejam RTH berhenti di meja hijau. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Kediri, Jawa Timur, menjatuhkan vonis seumur hidup.
Ketua Majelis Hakim, Khairul, S.H., M.H., menegaskan terdakwa terbukti melakukan pembunuhan berencana.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara seumur hidup, menetapkan terdakwa tetap ditahan," ujarnya saat sidang di PN Kota Kediri, Selasa (10/9/2025).
Jaksa Penuntut Umum Ichwan Kabalmay menilai putusan itu sejalan dengan dakwaan. Namun, ia menegaskan bahwa pihaknya sebenarnya menuntut hukuman mati.
"Majelis sependapat dengan kami, pasal yang didakwakan majelis sependapat, Pasal 340 KUHP, itu yang penting," kata Ichwan.
Ia menambahkan, unsur perencanaan sudah terbukti. Hanya saja, hakim menjatuhkan vonis seumur hidup, sedangkan jaksa menilai hukumannya pantas dijatuhkan hukuman mati. "Kami laporkan ke pimpinan langkah apa yang kami lakukan terhadap putusan ini, banding atau menerima. Namun, kami ada upaya hukum untuk banding," tegasnya.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Apriliawan Adi Wasisto, menganggap putusan hakim tidak sesuai dengan fakta persidangan.
"Kalau seumur hidup menurut kami tidak sesuai dengan fakta persidangan yang Pasal 340 KUHP-nya dari hakim. Kalau kami berpatokan Pasal 351 ayat 3, Pasal 338 juga. Kalau berencana saya rasa fakta persidangan tidak ada," ucapnya.
Pihak kuasa hukum tetap berpegang pada nota pembelaan. Bahkan, mereka mempertimbangkan untuk mengajukan banding. "Kami akan melakukan upaya hukum banding. Kami pikir-pikir dan pertimbangkan, tetap banding," ujar Apriliawan. (ANTARA)