Pidato di Sidang Umum PBB, Prabowo Dinilai Bakal Ulang Sejarah Diplomasi Sang Ayah

Presiden RI Prabowo Subianto bertolak ke New York, Amerika Serikat
Sumber :
  • Tangkapan layar YouTube Sekretariat Presiden

Jakarta, VIVA – Presiden RI Prabowo Subianto akan berpidato di Sidang Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat pada Selasa, 23 September 2025. 

Kepala BGN: Prabowo Ingin Bertemu Mitra MBG Sepulang dari AS

Kehadiran Prabowo dinilai akan menjadi momen bersejarah karena mengulang jejak perjuangan diplomasi sang ayah, Prof. Sumitro Djojohadikusumo

Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal menyebut kehadiran Presiden Prabowo di forum PBB merupakan kelanjutan tradisi keluarga pejuang diplomasi. 

JPPI ke Prabowo: Nunggu Korban Berapa Banyak Lagi Sampai MBG Dievaluasi Serius?

“Kami rakyat Indonesia berharap, sebagaimana almarhum Prof. Sumitro, Presiden Prabowo dapat terus memperjuangkan upaya dunia untuk memperkokoh multilateralisme,” kata Dino dalam keterangan pers oleh Badan Komunikasi Pemerintah, Sabtu, 20 September 2025.

Diketahui, Prof. Sumitro pernah memimpin delegasi Indonesia di PBB pada periode 1948-1949, masa yang sangat menentukan perjalanan sejarah Bangsa Indonesia dan posisinya di dunia. 

JPPI Catat Ada Lebih dari 6 Ribu Kasus Keracunan MBG, Terbanyak Jabar

Salah satu kiprah diplomasi paling monumental yang dicatat Sumitro adalah memorandum yang dikirim dari Kantor Perwakilan RI di PBB kepada Pejabat Menteri Luar Negeri AS Robert A. Lovett. 

Memorandum yang kemudian dimuat di The New York Times pada 21 Desember 1948, mengecam agresi militer Belanda sebagai ancaman terhadap upaya membangun ketertiban dunia.

Agresi itu juga dianggap sebagai pelanggaran keras terhadap Perjanjian Renville serta perundingan lain antara Indonesia dan Belanda, sekaligus juga mencederai legitimasi PBB. 

Tak hanya itu, Sumitro melakukan berbagai upaya diplomatik, termasuk membangun dukungan dari negara-negara Asia. Pada pertemuan di India, Januari 1949, ia berhasil menggalang solidaritas negara-negara Asia untuk menghentikan agresi Belanda dan menuntut pembebasan para pimpinan Republik. 

Puncaknya, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949. Setahun kemudian, tepat pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat resmi menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dino menilai, pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum ke-80 PBB akan membawa angin segar di tengah merosotnya semangat multilateralisme global. 

“Multilateralisme di mana-mana kini sedang dalam kondisi terpuruk,” ungkapnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya