Mafia Tanah Incar Lansia seperti Mbah Tupon, Mardani: Perlu Political Will Negara Lindungi Rakyat

Anggota DPR sekaligus Ketua BKSAP DPR RI Mardani Ali Sera.
Sumber :
  • ANTARA

Jakarta, VIVA - Kasus dugaan mafia tanah yang menyasar seorang lanjut usia atau lansia seperti Mbah Tupon (68), di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. DPR RI pun menyoroti kasus yang dialami Mbah Tupon.

Okan Kornelius Datang ke Mabes Polri, Bikin Laporan Soal Kasus Mafia Tanah

Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera prihatin dengan kasus alih hak tanah tanpa sepengetahuan sang pemilik Mbah Tupon (68). Ia bilang kasus Mbah Tupon ini jadi bukti nyata masih lemahnya perlindungan negara terhadap hak kepemilikan tanah rakyat kecil.

"Sedih sekali melihat kasus Mbah Tupon dan bisa jadi sebenarnya banyak Mbah Tupon-Mbah Tupon lain saat ini yang juga sedang berjuang melawan mafia tanah,” kata Mardani, dalam keterangannya, dikutip pada Jumat, 2 Mei 2025.

PMII Kaltim Minta Kejagung Usut Dugaan Mafia Tanah Aset Pemkab Kutai Timur

Dia bilang kasus Mbah Tupon bukanlah sekadar peristiwa personal. Namun, ia menekankan jadi potret sistemik dari maraknya praktik mafia tanah yang menargetkan rakyat kecil terutama para lansia dan warga desa yang memiliki keterbatasan akses informasi hukum dan teknologi.

Mardani menuturkan, perlu ada political will dari negara khususnya stakeholder terkait untuk memastikan keadilan bagi Mbah Tupon.

Sertifikat Rumah Keluarga Adjie Massaid Berpindah Tangan, Kuasa Hukum Sebut Ada Dugaan Tipu Daya

"Perlu ada political will dari negara dalam membela rakyat, terutama dari Pemerintah dan instansi yang mengurus persoalan ini," tutur politikus PKS itu. 

Pun, Mardani menyinggung mafia tanah dengan kejahatan yang terstruktur dan merajalela. Bagi dia, hal itu sudah bukan rahasia lagi.

Mardani mengapresiasi berbagai upaya bantuan yang diberikan kepada Mbah Tupon.

Political will dalam membela rakyat seperti ini kita harapkan selalu ada tanpa menunggu kasus viral. Dan komitmen dari pemerintah daerah untuk membantu Mbah Tupon harus dilakukan hingga akhir,” ujar Mardani.

Mbah Tupon korban mafia tanah di Bantul

Photo :
  • VIVA.co.id/Cahyo Edi (Yogyakarta)

Lebih lanjut, Mardani menilai kasus Mbah Tupon menunjukkan masih ada celah dalam proses administrasi pertanahan di Indonesia. Sebab, Mbah Tupon sampai tidak mengetahui bahwa sertifikat tanah miliknya telah berganti menjadi Indah Fatmawati.

“Mestinya semua proses administrasi pertanahan bisa berjalan dengan prinsip menjaga keamanan hak milik masyarakat. Jadi, harus diinvestigasi secara detail semua prosesnya, termasuk kronologi jual beli,” katanya.

Kemudian, ia menyebut, kisah Mbah Tupon memperlihatkan bahwa fenomena mafia tanah sudah lama jadi borok dalam sistem pertanahan Indonesia yang harus segera diatasi. Modus yang dilancarkan pun beragam dari pemalsuan dokumen, rekayasa waris, hingga manipulasi data di kantor pertanahan.

Maka itu, Mardani minta pemerintah lebih proaktif melindungi masyarakat, khususnya mereka yang berada dalam posisi rentan, agar tidak menjadi korban manipulasi hukum dalam kepemilikan tanah.

"Pemerintah daerah dan pusat harus menjamin bahwa hak milik yang sah tidak bisa begitu saja digeser oleh tipu daya dokumen,” sebutnya.

Kisah pedih dialami Mbah Tupon karena diduga jadi korban mafia tanah. Dalam kasusnya, tanah seluas 1.655 meter persegi milik Mbah Tupon beserta rumahnya dan rumah sang anak terancam disita bank.

Mbah Tupon yang tak bisa membaca dan menulis menduga kelemahannya ini dimanfaatkan para mafia tanah beraksi. Tanah seluas 1.655 meter persegi beserta dua rumah miliknya secara misterius malah beralih hak dan berganti nama atas orang lain. Padahal, hal itu tak ada sepengetahuan dan persetujuan pemilik sah. 

Kasus ini berawal saat lahan Mbah Tupon seluas 2.100 meter persegi hendak dijual sebagian. Ia kemudian menjual tanahnya seluas 298 meter persegi. 

Namun, lantaran tak punya akses jalan, Mbah Tupon kemudian memberikan tanah seluas 90 meter persegi.

Mbah Tupon juga memberikan tanahnya seluas 54 meter persegi untuk dibangun sebagai gudang RT. Pembeli sebagian tanah Mbah Tupon lalu menawarkan untuk memecah sertifikat sisa tanah Mbah Tupon seluas 1.655 meter persegi sesuai dengan nama ketiga anaknya.

Dalam proses itu, Mbah Tupon diketahui menandatangani dokumen terkait pecah tanah tanpa ada pembacaan isi dokumen dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang direkomendasikan oleh pembeli tanahnya tersebut. Pun, lantaran tak ada proses membacakan dokumen, Mbah Tupon yang buta huruf tak mengerti apa yang dia tanda tangani.

Kemudian, karena berbulan-bulan tak ada kejelasan, Mbah Tupon dan keluarganya kaget saat petugas bank datang pada Maret 2024. Petugas bank saat itu mengatakan tanah yang sedianya hendak dipecah sertifikat itu justru menjadi agunan bank senilai Rp 1,5 miliar. 

Mbah Tupon juga baru mengetahui dari pihak bank bahwa sertifikat tanahnya kini atas nama Indah Fatmawati yang sama sekali tak ia kenal.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya