Sri Mulyani Sebut RI Butuh Dana Rp 10.302 Triliun untuk Pembangunan Infrastruktur hingga 2029

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anisa Aulia

Jakarta, VIVA – Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan Indonesia membutuhkan anggaran sebesar US$625,37 miliar atau sekitar Rp 10.302 triliun (kurs Rp 16.475 per dolar AS), untuk kebutuhan investasi infrastruktur pada periode 2025-2029.

Penuhi Janji, Pramono Tingkatkan Dana Operasional Dasa Wisma

Sri Mulyani mengatakan, saat ini Indonesia menghadapi kebutuhan mendesak untuk memperluas konektivitas guna memastikan akses yang adil ke layanan infrastruktur dasar. 

"Pembiayaan tetap menjadi kendala penting, total kebutuhan investasi infrastruktur untuk periode 2025-2029 diperkirakan sekitar US$625 miliar," ujar Sri Mulyani dalam acara International Conference on Infrastructure Kamis, 12 Juni 2025.

Sri Mulyani Ungkap Semester-I 2025 APBN Tekor Rp 204,2 Triliun

ilustrasi pembangunan infrastruktur.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Risky Andrianto

Sri Mulyani menjelaskan, dari jumlah kebutuhan anggaran tersebut, pemerintah hanya bisa memenuhi kebutuhan tersebut sekitar 40 persen, yang berasal dari Anggaran Pemerintah dan Belanja Negara (APBN) dan anggaran pemerintah daerah.

Sri Mulyani Buka Blokir Anggaran 99 K/L Senilai Rp 134,9 Triliun

"Dari jumlah tersebut, anggaran pemerintah yang digabungkan dengan anggaran pemerintah daerah akan mencakup sekitar 40 persen. Jadi, kita pasti menghadapi kesenjangan pendanaan," terangnya.

Bila dirinci, alokasi melalui APBN hanya mampu membiayai sekitar US$143,84 miliar atau sekitar 23 persen, sementara dari anggaran pemerintah daerah sebesar 17 persen atau US$106,31 miliar dari total kebutuhan anggaran tersebut.

Bendahara negara ini menyebut, adanya kesenjangan anggaran antara kebutuhan dan ketersediaan ini maka membutuhkan partisipasi dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sektor swasta.

Sri Mulyani menjelaskan, untuk anggaran dari BUMN dibutuhkan sebesar US$187,61 miliar dan sektor swasta US$187,61 persen atau masing-masing 30 persen.

"Ini akan membutuhkan partisipasi sektor swasta dan juga dukungan dari banyak mitra dan juga menuntut terciptanya mekanisme pendanaan yang inovatif," imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya