Industri Kretek Tertekan Regulasi Pemerintah Meski Sumbang Ratusan Triliun Buat Negara

Tembakau kering yang dilinting untuk menjadi rokok di pabrik.
Sumber :
  • VIVA/ Yeni Lestari.

Jakarta, VIVA – Keberadaan industri kretek sebagai komoditas strategis nasional, dinilai tengah menghadapi tekanan yang berat yang justru dilakukan oleh Kementerian Kesehatan sebagai bagian dari Pemerintah.

Sri Mulyani Ungkap Semester-I 2025 APBN Tekor Rp 204,2 Triliun

Budayawan yang juga Doktor Ilmu Kesejahteraan Sosial UI, Mohammad Sobary berpendapat, kedaulatan petani tembakau dan cengkeh saat ini sedang dihancurkan secara sistematis melalui intervensi legislasi. Konspirasi global dan intervensi asing menurutnya semakin kuat menggerogoti kedaulatan bangsa. 

"Pemerintah ditekan untuk mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang merupakan representasi kekuatan global yang merongrong kedaulatan bangsa. Kekuatan global itu diwakili FCTC sebagai bentuk kolonialisme dengan jubah baru," kata Sobary dalam keterangannya, Senin, 23 Juni 2025.

Didukung Kadin, Asosiasi Industri Mebel Dorong Pemerintah Perjuangkan Tarif Ekspor Kompetitif ke AS

Di mengatakan, aksesi FCTC ini memiliki dampak penghancuran terhadap industri kretek nasional, karena didalam 38 butir pasal di dalamnya bertujuan untuk melarang penyebaran produk hasil tembakau. 

Tumbuhan tembakau

Photo :
  • Pixabay
Negosiasi Tarif dengan AS Hampir Deadline, Airlangga Tawarkan Investasi Sektor Ini

"Sikap pemerintah untuk tidak meratifikasi FCTC sudah tepat, itu semata demi menjaga kedaulatan nasional," ujarnya.

Sobary mengatakan, saat ini industri kretek nasional menghadapi berbagai tantangan besar, dimana terdapat 500 peraturan baik fiskal dan non fiskal yang dibebankan pada industri kretek.

Padatnya aturan (heavy regulated) tersebut berekses negatif di lapangan, karena aturan tidak incorporated dan lebih banyak mengadopsi kepentingan pesaing bisnis global yang masuk melalui FCTC-WHO. 

"Salah satu dampak signifikan akibat padatnya peraturan adalah kinerja penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tidak mencapai target. Tahun 2024 mencapai Rp 216,9 triliun atau 94,1 persen dari target Rp 230,4 triliun. Produksi rokok legal juga terus mengalami penurunan," kata Sobary.

Dia menegaskan, Indonesia memiliki alasan-alasan kuat untuk tidak meratifikasi FCTC. Antara lain yakni karena Indonesia memiliki kepentingan yang besar terhadap komoditas tembakau dan produk hasil tembakau, dimana negara sangat bergantung pada komoditas ini sebagai pendapatan negara. 

"Pada tahun 2024 pendapatan negara yang dipungut dari cukai rokok sebesar Rp 216,9 trilun," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya