DPR Minta Pemerintah Tak Terlena Usai Neraca Dagang RI Surplus, Ini Alasannya

Anggota Komisi VI DPR RI, Ahmad Labib
Sumber :
  • Dok. Istimewa

Jakarta, VIVA – Anggota Komisi VI DPR RI, Ahmad Labib menyambut positif pencapaian pemerintah terkait surplus neraca perdagangan pada Juni 2025 sebesar USD 4,10 miliar. Hal itu menandai 62 bulan berturut-turut surplus sejak Mei 2020. 

Inamarine 2025, BKI Jaring Kerja Sama Industri Maritim Indonesia

Per semester, kata dia, total surplus Januari hingga Juni mencapai USD 19,48 miliar, yang didominasi oleh sektor non-migas.

Labib menyambut capaian ini sebagai sinyal positif atas daya saing ekspor nasional, namun juga menggarisbawahi pentingnya membaca angka surplus ini secara utuh dan berimbang.

Stabilitas Rupiah hingga Pemerintah Bayar Utang Bikin Cadangan Devisa RI Juli 2025 Turun

Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik (BPS), M. Habibullah, dalam konferensi pers Neraca Perdagangan RI Mei 2024 di kantornya, Rabu, 19 Juni 2024

Photo :
  • VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya

“Surplus perdagangan adalah kabar baik, tapi kita juga harus jujur melihat bahwa surplus ini masih bertumpu pada ekspor komoditas mentah dan setengah jadi, bukan dari diversifikasi sektor manufaktur bernilai tambah tinggi,” ujar Ahmad Labib dalam keterangannya, Selasa, 5 Agustus 2025.

BRINS Dapat Booster Hadapi Tantangan Berat Industri Asuransi

Labib mengatakan bahwa sektor non-migas seperti lemak dan minyak nabati, batu bara, serta besi dan baja menjadi penopang utama surplus, sementara sektor migas justru mencatat defisit besar senilai USD 8,83 miliar pada semester I 2025.

“Ketergantungan pada impor energi menunjukkan bahwa fondasi ketahanan ekonomi kita masih rapuh. Ini harus menjadi perhatian serius dalam perencanaan strategis industri dan energi nasional,” kata dia.

Namun, dia juga menyoroti ketimpangan dalam relasi dagang, khususnya dengan negara seperti Tiongkok. Di mana Indonesia mencatat defisit senilai USD 9,73 miliar. 

Hal ini menggambarkan ketergantungan Indonesia terhadap barang modal, bahan baku industri, dan produk manufaktur impor.

“Selama kita belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri melalui produksi dalam negeri sendiri, maka surplus perdagangan akan terus dibayangi oleh kerentanan struktural,” kata Labib.

Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi

Photo :
  • freepik.com/freepik

Kendati begitu, Ahmad Labib mengapresiasi keberhasilan Indonesia dalam memperkuat posisi di pasar global, terutama dengan mitra dagang seperti Amerika Serikat, India, dan Filipina, yang menyumbang surplus signifikan.

Ahmad Labib mendorong pemerintah menjadikan momentum surplus perdagangan ini sebagai pijakan awal untuk mendorong transformasi industri nasional yang tangguh dan berkelanjutan. 

Menurutnya, strategi yang harus ditempuh meliputi penguatan sektor manufaktur bernilai tambah tinggi, peningkatan kapasitas industri substitusi impor untuk mengurangi ketergantungan luar negeri, diversifikasi ekspor guna menghadapi volatilitas harga komoditas global, serta percepatan hilirisasi sumber daya alam dengan pendekatan berbasis teknologi dan riset.

“Kita butuh strategi jangka panjang, bukan sekadar mengejar angka surplus. Surplus perdagangan yang sehat harus mencerminkan kemandirian ekonomi, daya saing industri, dan resiliensi terhadap gejolak global,” tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya