Skema Ekspor-Impor RI Rugikan Sektor Jasa, Airlangga Ungkap Penyebabnya

[Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam acara peluncuran ALFI Convex 2025, di Kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu, 2 Juli 2025]
Sumber :
  • VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya

Jakarta, VIVA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyampaikan, saat ini masih terdapat ketimpangan dalam skema ekspor-impor Indonesia, yang menurutnya masih merugikan bagi sektor jasa di dalam negeri.

Airlangga Targetkan RI Tidak Kena Tarif Resiprokal AS

Dia menjelaskan, saat ini ekspor Indonesia umumnya menggunakan skema Free on Board (FOB), sementara impor dilakukan dengan skema Cost, Insurance, and Freight (CIF). Praktik ini menurutnya telah membuat Indonesia kehilangan nilai tambah dari jasa logistik dan asuransi, yang justru dinikmati oleh negara lain.

"Jadi pekerjaan rumah kita yaitu agar bagaimana kita mengubah syarat perdagangan kita dari ekspor FOB dan impor CIF," kata Airlangga dalam konferensi pers peluncuran ALFI Convex 2025, di Kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu, 2 Juli 2025.

Lebih dari 10 Juta Produk Lokal Tembus Pasar Ekspor Lewat Shopee

Ketimpangan ini menyebabkan perbedaan signifikan dalam data perdagangan antara Indonesia dan para mitra dagangnya, misalnya seperti Singapura, China, maupun Amerika Serikat. Penyebabnya karena trade cost yang tidak dihitung seragam, terutama oleh negara-negara seperti AS yang tidak mencatat jasa logistik dalam neraca perdagangan mereka.

"Kalau jasa dihitung, sebetulnya neraca perdagangan mereka dengan kita jauh lebih positif bagi mereka," ujarnya.

Surplus Neraca Perdagangan RI Mei 2025 Tembus Rp69,8 Triliun, BI Perkuat Sinergi antar-Instansi

[Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam konferensi pers peluncuran ALFI Convex 2025, di Kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu, 2 Juli 2025]

Photo :
  • VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya

Karenanya, Airlangga pun mendorong agar Indonesia mengubah pendekatan perdagangan menjadi skema CIF, baik untuk ekspor maupun impor. Sehingga para pelaku usaha nasional dapat mengambil peran dalam jasa pengangkutan dan asuransi, sekaligus memperkuat ekosistem logistik domestik.

"Kalau semua bisa direncanakan secara matang, itu kan semuanya kita (buat melalui) kontrak jangka panjang, tidak swap. Tentu kita harus melihat bagaimana kita bisa turunkan dari segi biaya logistik. Karena kalau dari 14 persen turun ke 10 persen saja, itu nilainya sudah luar biasa," kata Airlangga.

Dia mengatakan, pergeseran skema ini bisa berdampak besar pada peningkatan kontribusi sektor jasa terhadap PDB, sekaligus menciptakan lapangan kerja dan memperkuat daya saing nasional dalam perdagangan global. Namun, perubahan skema ini hanya bisa berhasil, jika didukung oleh efisiensi logistik nasional.

Meskipun, saat ini biaya logistik di Indonesia masih berada di angka 14,29 persen terhadap PDB, dan ditargetkan bisa ditekan ke 10-8 persen pada tahun 2030 mendatang. Jika biaya logistik bisa ditekan dari 14 ke 10 persen, lanjut Airlangga, maka Dia meyakini bahwa Indonesia bisa melakukan efisiensi 40 persen sekaligus mengompensasi tekanan tarif dagang (temporary charges) yang dikenakan negara lain.

"Kalau 4 dibagi 10 kan 40 persen. Itu bisa mengkompensasi perang tarifnya di charge, dalam tanda petik, temporary charging-nya di 10 persen. Jadi sebetulnya kita bisa lebih kompetitif juga kalau dibagi cost kita, kita bisa tekan," ujarnya.

Pabrik baterai mobil listrik CATL di China

Dunia Ketergantungan Mobil China

Popularitas kendaraan listrik dari China didorong oleh harga yang kompetitif serta peningkatan kualitas produk yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

img_title
VIVA.co.id
3 Juli 2025