Soroti Makin Mengguritanya Kartel di Sektor Kebutuhan Dasar, Anggota Komisi VI Tegaskan Harus Jadi Prioritas KPPU

Anggota Komisi VI DPR RI Ahmad Labib.
Sumber :
  • istimewa.

Jakarta, VIVA – Anggota Komisi VI DPR RI, Ahmad Labib menyoroti praktik kartel yang semakin menggurita di sektor-sektor strategis kebutuhan dasar masyarakat. Peran dan fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus lebih maksimal.

Indonesia Kena Tarif Impor AS 19%, DPR: Ini Pembebanan, Tapi Patut Disyukuri

Hal tersebut diungkapkannya dalam dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama KPPU di Kompleks Parlemen Senayan. Labib menyebut bahwa kejahatan kartelisasi telah menciptakan bentuk monopoli ekonomi yang sangat merugikan rakyat, namun kerap tidak disentuh karena tekanan dari kelompok pemodal besar. 

“Kartel-kartel yang muncul di sektor-sektor kebutuhan dasar masyarakat telah menciptakan monopoli yang sangat merugikan. Ini adalah persoalan serius. Kita semua tahu betapa kuatnya pengaruh kartel-kartel ini,” tegas Ahmad Labib di hadapan jajaran KPPU, dikutip dari keterangannyam Kamis 10 Juli 2025.

Trump Umumkan AS dan Indonesia Sudah Deal soal Tarif Dagang, 'Nego' Langsung dengan Prabowo

Labib menyatakan, pemberantasan kartel seharusnya menjadi prioritas utama KPPU. Ia menyoroti pola sistematis yang digunakan pelaku industri besar untuk memanipulasi regulasi demi mempertahankan dominasi pasar. Salah satu kasus yang diangkat adalah terkait impor garam oleh industri, yang dinilai menjadi contoh nyata bagaimana celah hukum dimanfaatkan untuk menghindari penggunaan produk lokal.

Pimpinan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat menggelar rapat. Ilustrasi.

Photo :
  • www.telkomsel.com
Kepala BNN Sebut Kartel Narkoba Sinaola Meksiko Sudah Masuk Bali

“Meskipun impor garam dihentikan pada Januari, tetap saja ada perusahaan yang mengajukan izin impor dengan alasan kebutuhan spesifikasi teknis. Padahal, spesifikasi itu bisa saja direkayasa oleh industri. Ini adalah modus klasik,” tegas Labib. 

Ia menambahkan bahwa tujuan dari pola tersebut sangat jelas yaitu mempertahankan koneksi dagang dengan pemasok asing dan memainkan harga pasar. Menurutnya, negara tidak boleh tunduk pada kepentingan industri besar, melainkan harus hadir melindungi kepentingan petani garam dalam negeri. 

“Jika ada kandungan garam yang belum bisa diproduksi lokal, negara harus mendorong riset dan teknologi, bukan malah membuka keran impor terus-menerus,” katanya. 

Labib juga mengingatkan PT Garam yang sedang menyiapkan rencana pembangunan sentra industri Garam di salah satu kepulauan di Papua, jangan sampai produksi garam yang dihasilkan nanti tidak terserap oleh industri dalam negeri dengan alasan kandungan tidak sesuai kebutuhan.

“Ini bagian dari strategi perdagangan global yang sangat canggih dan harus diwaspadai. Jangan sampai kita kalah di kandang sendiri karena alasan teknis yang sebenarnya bisa diatasi,” lanjutnya. 

Dalam pandangannya, KPPU terlalu banyak mengurusi kasus kecil seperti tender lokal dan merger perusahaan skala kecil, sementara kartel besar yang mengendalikan sektor strategis tidak disentuh. Ia menegaskan bahwa KPPU harus kembali pada mandat awalnya sebagai garda terdepan pengawal persaingan usaha yang sehat. 

“KPPU ini punya fungsi luar biasa: sebagai polisi, jaksa, sekaligus hakim dalam mengawasi pasar. Tapi sayangnya, kekuatannya tidak final. Eksekusi putusan masih harus lewat pengadilan,” kritiknya. 

Untuk itu, Ahmad Labib mendorong penguatan kewenangan KPPU agar putusannya bersifat final dan mengikat, seperti halnya Mahkamah Konstitusi. 

“Kalau kita mau lindungi rakyat dan UMKM, serta selamatkan industri nasional dari dominasi asing dan permainan harga, maka KPPU harus punya taji hukum yang kuat. Jangan hanya jadi pengamat yang bisu di tengah gempuran kartel,” tutup Labib. 

Dia pun menegaskan, Komisi VI DPR RI menyatakan komitmennya untuk terus mengawal isu kartel dan reformasi kelembagaan KPPU. Evaluasi lanjutan akan dilakukan untuk memastikan pengawasan pasar benar-benar berpihak kepada kepentingan nasional dan bukan kepentingan elite ekonomi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya