Koperasi Merah Putih, Harapan Baru di Tengah Ancaman Bencana Bonus Demografi
- Tangkapan layar YouTube Sekretariat Presiden
Jakarta, VIVA – Pemerintah meluncurkan lebih dari 80.000 Koperasi Merah Putih (KMP) pada 21 Juli 2025 dengan janji besar menciptakan 1,6 hingga 2 juta lapangan kerja baru dari desa-desa di seluruh penjuru negeri. Hal ini dilakukan di tengah kemacetan pasar kerja dan anjloknya daya serap industri.
Ketua Bidang Penelitian dan Kebijakan Strategis PB HMI 2024-2026, Yusuf Sugiyarto mengatakan, secara konsep KMP adalah langkah yang penuh harapan.
"Di atas kertas, koperasi memang bisa jadi penggerak ekonomi lokal yang demokratis, tahan krisis, dan berbasis komunitas," kata Yusuf dalam keterangan tertulisnya, Rabu 6 Agustus 2025.
Presiden RI Prabowo Subianto saat meresmikan Koperasi Desa Merah Putih
- Muchlis Jr - Biro Pers Sekretariat Presiden
Apalagi di tengah stagnasi ekonomi nasional, kata Yusuf, pendekatan seperti ini dibutuhkan. Menurutnya, demua program besar di republik ini, yang jadi pembeda bukan idenya melainkan eksekusinya.
Lebih lanjut, Yusut menuturkan, Indonesia saat ini sedang mendapatkan bonus demografi, namun yang seharusnya menjadi “dividen sejarah” bagi bangsa ini justru menjelma menjadi bom waktu.
"Antara 2025 hingga 2035, Indonesia akan mengalami lonjakan usia produktif tertinggi dalam sejarah. Tapi alih-alih memanen produktivitas, kita justru dihadapkan pada fakta suram," ucapnya.
Berdasarkan data BPS Februari 2025 menunjukkan ada 7,28 juta pengangguran terbuka, 3,6 juta di antaranya adalah anak muda usia 15–24 tahun. Yang lebih mencemaskan, ada lebih dari satu juta sarjana yang tak terserap pasar kerja, mereka yang mestinya jadi lokomotif pembangunan, justru terjebak dalam antrian panjang lowongan yang tak kunjung datang.
"Di sinilah kegagalan menyerap bonus demografi mulai terasa nyata, bukan sekadar wacana," ucapnya.
Di luar itu, tiga awan hitam masih membayangi yaitu disrupsi, mismatch, dan deindustrialisasi. Dunia kerja berubah cepat, bahkan terlalu cepat. Otomatisasi dan AI mengancam 43 persen pekerjaan global. Sementara itu, mismatch antara kompetensi lulusan dan kebutuhan industri jadi lubang besar yang belum tertambal.
Ditambah lagi, dengan adanya indikasi deindustrialisasi prematur yang terjadi pada sektor industri padat karya, semakin melemahkan penyerapan tenaga kerja.
"Terlihat dari kontribusinya ke PDB stagnan di 18,25 persen (World Bank, 2023), banyak pabrik yang gulung tikar, dan angka PHK terus naik," katanya.
"Maka ketika Koperasi Merah Putih dihadirkan sebagai “game changer”, kita perlu bertanya lebih jujur apakah ini benar-benar jawaban? Atau hanya jeda sebelum krisis selanjutnya datang?Pemerintah sendiri menaruh harapan besar," lanjutnya.
Wakil Menteri Koperasi, Ferry Joko Juliantono, menyebut bahwa pembentukan KMP bertujuan memperkuat peran koperasi sebagai pilar kesejahteraan rakyat dan penggerak utama ekonomi desa.
KMP diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja, memperpendek rantai pasok, memperkuat inklusi keuangan, hingga meningkatkan kesejahteraan petani dan pelaku UMKM.
Bahkan lebih jauh lagi, KMP diharapkan mampu menekan kemiskinan ekstrem dan menstabilkan inflasi lewat sistem pelayanan ekonomi yang efisien dan berbasis komunitas.
Dengan proyeksi 20 pekerja per koperasi, target 1,6 juta lapangan kerja bisa tercapai, tentu bila koperasi yang dibentuk benar-benar berjalan produktif.Namun potensi besar itu tak bisa dilepaskan dari tantangan mendasar yang melekat pada ekosistem koperasi kita hari ini.
"Dari total 180.352 koperasi aktif, 59,4% masih tergolong skala mikro dengan omzet di bawah Rp300 juta per tahun. Hampir 70% di antaranya hanya bergerak di sektor simpan pinjam," ucapnya.
Ia mengatakan, SHU koperasi nasional pun belum pulih ke masa jayanya; dari puncak Rp17,3 triliun pada 2015, kini hanya menyentuh Rp8,15 triliun (BPS, 2025). Artinya, secara kelembagaan dan kapasitas usaha, koperasi kita masih rentan.
"Jika kerentanan ini tidak dibenahi, maka program KMP justru berisiko jadi beban, bukan solusi. Dari sini, langkah korektif menjadi penting," ujarnya.
Pertama, pendirian koperasi harus berbasis kebutuhan ekonomi lokal, bukan hanya didorong target administratif. Koperasi harus menjadi productive economic units, bukan sekadar papan nama kelembagaan.
Kedua, pemerintah perlu menerapkan pendekatan results-based financing memberikan insentif kepada koperasi yang terbukti menyerap tenaga kerja secara nyata, terutama pemuda dan perempuan desa.
Ketiga, digitalisasi koperasi harus bersifat terbuka, inklusif, dan transparan. Sistem yang dapat diakses dan diaudit publik akan membangun kepercayaan, dan mencegah penyelewengan.
"Koperasi Merah Putih bisa jadi momentum penting dalam membangun ekonomi dari bawah. Tapi seperti halnya bonus demografi, ia bukanlah hadiah otomatis. Ia adalah peluang yang harus dikerjakan serius dengan desain kebijakan yang tepat, tata kelola yang bersih, dan partisipasi aktif dari masyarakat desa itu sendiri," katanya
Jika dikelola dengan benar, lanjutnya, KMP bisa menjadi warisan kebijakan yang mengubah wajah ekonomi desa Indonesia. Jika tidak, ia hanya akan menjadi serpihan dari ambisi yang tak pernah selesai ditepati.