Hadapi Kecanggihan AI dan PHK Massal, Begini Realita Pahit Lulusan Ilmu Komputer di Pasar Kerja 2025
- Freepik
Jakarta, VIVA – Di era digital yang kian maju, profesi di bidang teknologi informasi seolah menjadi impian banyak orang, khususnya para lulusan ilmu komputer. Dengan janji gaji tinggi dan peluang karier yang luas, belajar coding selama ini dianggap sebagai jalan pasti menuju kesuksesan.
Berbagai kampanye dan pernyataan dari tokoh besar teknologi hingga pemimpin negara menguatkan anggapan bahwa penguasaan teknologi digital adalah kunci masa depan.
Namun, realita di lapangan justru menunjukkan gambaran yang berbeda. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di perusahaan-perusahaan teknologi raksasa serta kemajuan kecerdasan buatan yang semakin menggantikan pekerjaan manusia, kini membuat lulusan baru bidang coding harus menghadapi persaingan yang jauh lebih ketat, dan peluang kerja yang semakin terbatas.
Manasi Mishra, lulusan baru ilmu komputer dari Purdue University, adalah contoh nyata tantangan tersebut. Sejak kecil, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa kemampuan coding akan membawanya ke pekerjaan bergaji tinggi.
Namun setelah setahun mencoba melamar dan magang, tawaran kerja terbaik yang ia dapatkan adalah wawancara di restoran cepat saji, yang kemudian tidak diterimanya. Kisah Mishra kemudian viral di media sosial, menggambarkan pengalaman yang dialami banyak lulusan muda saat ini.
Ilustrasi wisuda/lulus kuliah.
- Pixabay/McElspeth
Melansir dari The New York Times, Selasa, 12 Agustus 2025, data Federal Reserve Bank New York menunjukkan bahwa tingkat pengangguran untuk lulusan ilmu komputer usia 22 sampai 27 tahun kini mencapai angka yang mengkhawatirkan, yakni lebih dari dua kali lipat dibanding lulusan bidang lain.
Faktor utama yang memperburuk kondisi ini adalah PHK besar-besaran di perusahaan teknologi besar seperti Amazon, Microsoft, Intel, dan Meta. Ditambah, penggunaan alat AI yang mampu menulis kode secara otomatis sehingga mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja pemula.
Proses pencarian kerja yang rumit dan penuh tekanan juga menambah beban para pencari kerja muda. Banyak dari mereka melamar ribuan posisi, menghadapi berbagai tes coding, dan seringkali mengalami “ghosting” atau diabaikan perusahaan tanpa kabar.
Bahkan lamaran ke pekerjaan yang seharusnya mudah seperti di restoran cepat saji pun tidak jarang ditolak karena dianggap kurang pengalaman. Di sisi lain, AI tidak hanya mengubah cara perusahaan merekrut, tapi juga bagaimana para pencari kerja mempersiapkan diri.
Banyak yang kini menggunakan AI untuk membantu pembuatan lamaran, sementara perusahaan memanfaatkan AI untuk menyaring pelamar. Hal ini, ta la disadari menciptakan 'lingkaran setan' yang membuat peluang kerja semakin menipis.
Menanggapi fenomena ini, pemerintah dan korporasi mulai merespons dengan menggelar pelatihan AI dan teknologi terbaru untuk mempersiapkan tenaga kerja masa depan. Microsoft, misalnya, yang mengalokasikan miliaran dolar untuk pelatihan AI, dan beberapa universitas menyesuaikan kurikulum mereka agar sesuai dengan kebutuhan industri saat ini.
Meski menghadapi banyak rintangan, ada juga cerita optimis. Mishra yang awalnya kesulitan mendapatkan pekerjaan di bidang coding, kini menemukan jalur baru melalui dunia pemasaran teknologi berkat pengalamannya sebagai influencer di media sosial.