Pelayanan Publik Prima Bakal Dongkrak PAD Secara Alami, Komisi XI Tegaskan Kenaikan Pajak Paradigma Lama

Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun.
Sumber :
  • istimewa.

Jakarta, VIVA – Komisi XI DPR meminta pemerintah daerah fokus pada perbaikan fundamental dan tata kelola sebagai kunci utama peningkatan produktivitas ekonomi dan pendapatan asli daerah (PAD). Langkah tersebut dinilai lebih efektif ketimbang menempuh jalan pintas menaikkan pungutan atau pajak daerah yang justru memberatkan warga.

Nota Keuangan dan RAPBN 2026 Dinilai Realistis, Komisi XI Ungkap Sederet Tantangan Pemerintah

Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengungkapkan, paradigma lama yang hanya mengandalkan kenaikan pajak atau retribusi tanpa adanya perbaikan signifikan pada layanan publik harus segera ditinggalkan.

“Roda aktivitas ekonomi masyarakat harus dipermudah, birokrasi harus efisien, dan pelayanan publik harus prima. Jika pemerintah memfasilitasi warganya untuk produktif, maka basis pendapatan daerah secara alami akan menguat tanpa perlu melakukan pungutan yang eksesif," kata Misbakhun di Jakarta, Kamis, 14 Agustus 2025.

Janjikan Pajak Berkeadilan, Prabowo: Yang Kaya Bayar Pajak, Yang Tidak Mampu Dibantu

Dia menegaskan, pendekatan semacam itu dinilai tidak hanya kontraproduktif terhadap iklim usaha, tetapi juga mencederai rasa keadilan masyarakat yang seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah. Kemandirian daerah, tegasnya, harus diwujudkan melalui inovasi dan efektivitas pemerintahan, bukan dengan membebani rakyat.

Mukhamad Misbakhun

Photo :
  • Istimewa
13.151 Kendaraan ASN Jabar Menunggak Pajak, Nilainya Capai Rp5,2 Miliar

"Kemandirian daerah adalah sebuah keniscayaan, tetapi jalannya bukan dengan menambah beban di pundak rakyat,” tegasnya.

Dia menjelaskan bahwa terdapat dua jalan utama yang saling terkait untuk mencapai tujuan tersebut. Pertama, melalui pendekatan efisiensi belanja. Mengingat anggaran daerah harus dialokasikan secara cermat dan diprioritaskan untuk program-program yang memiliki dampak pengganda (multiplier effect) terhadap perekonomian lokal karena selama ini belanja daerah yang tertuang dalam APBD didominasi rata-rata di atas 50 persen untuk belanja pegawai.

Kondisi ini menyisakan ruang fiskal yang sangat sempit untuk belanja modal dan pembangunan. Idealnya, jelas Misbakhun, porsi belanja pegawai ditekan hingga 30 persen, karena pada tahun 2027 nanti pemerintah akan menetapkan pembatasan maksimal porsi belanja pegawai daerah sebesar 30 persen dari total belanja APBD, sesuai Undang-Undang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Jadi, tahun 2025 ini masih dalam masa transisi untuk memenuhi batas tersebut. Ini semua dilakukan agar daerah memiliki kapasitas fiskal yang memadai untuk pembangunan tanpa terus bergantung pada transfer pusat.

Kedua adalah pendekatan efektivitas pelayanan publik, yang berfokus pada penyederhanaan perizinan, penyediaan infrastruktur dasar yang andal, dan penciptaan ekosistem yang ramah bagi dunia usaha. Di samping itu, Misbakhun menambahkan ketika masyarakat merasakan kemudahan dalam berusaha dan menjalankan kegiatan ekonominya, kesadaran untuk membayar pajak dan retribusi daerah akan tumbuh secara organik.

Ilustrasi Pajak

Photo :
  • pexels.com/Nataliya Vaitkevich

"Inilah inti dari simbiosis mutualisme antara pemerintah dan rakyat," tambahnya.

Pemerintah melayani dengan baik, ekonomi masyarakat tumbuh, dan pada gilirannya pendapatan asli daerah (PAD) meningkat secara sehat dan berkelanjutan.

"Pada akhirnya, baik pendekatan efisiensi belanja maupun efektivitas pelayanan, keduanya bermuara pada satu tujuan: perbaikan tata kelola untuk meningkatkan produktivitas ekonomi daerah. Tujuannya bukan semata-mata angka pendapatan, melainkan menciptakan sebuah ekosistem ekonomi daerah yang kuat, mandiri, dan pada akhirnya menyejahterakan rakyatnya secara berkeadilan," tuturnya.(Ant)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya