Bukan Efisiensi Anggaran, Mendagri Ungkap Biang Kerok Naiknya PBB-NJOP di Sejumlah Daerah

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Muhammad Tito Karnavian
Sumber :
  • Kemendagri

Jakarta, VIVA – Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengatakan, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di sejumlah daerah, tidak ada kaitannya dengan kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat.

Di Depan Prabowo, Puan Ungkap Kementerian Curhat ke DPR soal Efisiensi Anggaran

Dia mengatakan, sejumlah daerah telah memberlakukan kenaikan tarif PBB sejak 2022, termasuk lima daerah yang baru mulai memberlakukan kenaikan pajak tersebut pada tahun ini.

"Kami sudah melihat daerah-daerah ini, dan ada yang memang menaikkan. Tapi (kenaikannya) bervariasi, ada yang 5 persen, ada yang 10 persen, ada yang kemudian berdampak di atas 100 persen, itu (terjadi di) 20 daerah," kata Tito, dikutip Sabtu, 16 Agustus 2025.

Ada yang Naiknya sampai Ribuan Persen, Ini 5 Daerah dengan Kenaikan PBB Fantastis

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Muhammad Tito Karnavian

Photo :
  • Kemendagri

Dia mengatakan, sebanyak 15 daerah sudah membuat aturan terkait kenaikan pajak tersebut pada tahun 2022, 2023 dan 2024. Sementara lima daerah lainnya baru menerapkan aturan tersebut pada tahun 2025.

Geger Bupati Pati Naikkan PBB-P2 250 Persen, Mendagri Tito: Dasarnya Apa?

Data yang sama menunjukkan, sebagian besar aturan daerah mengenai kenaikan PBB dan NJOP itu, diterbitkan sebelum pemerintahan Presiden Prabowo Subianto resmi menerapkan kebijakan efisiensi anggaran pada awal 2025.

"Jadi Perkada (Peraturan Kepala Daerah) dari lima daerah itu dibuat di tahun 2025, dan sisanya itu dibuat di tahun 2022, 2023, dan 2024. Artinya (kenaikan PBB dan NJOP di) 15 daerah tidak ada hubungannya dengan efisiensi yang terjadi," ujar Tito.

Dari 20 daerah yang menaikkan besaran PBB dan NJOP tersebut, dua di antaranya sudah membatalkan aturan tersebut yakni Pati dan Jepara.

Tito mengatakan, kenaikan PBB dan NJOP memang merupakan kewenangan pemerintah daerah, seperti yang tercantum dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).

"Tapi ada klausul, yaitu harus mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Dan yang kedua juga harus ada partisipasi dari masyarakat, jadi harus mendengar suara publik juga," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya