Bawang Merah dari Biji jadi 'Game Changer' Pertanian

Ilustrasi bawang merah.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Irfan Anshori

Jakarta, VIVA — Di tengah tantangan krisis pangan global, Indonesia menunjukkan diri sebagai salah satu potensi lumbung pangan dunia khususnya, melalui inovasi hortikultura seperti bawang merah.

Pasokan Terkendali, Stok BBM untuk Nelayan hingga Petani Dipastikan Aman

Bawang merah adalah komoditas strategis di Indonesia karena menjadi salah satu penentu inflasi bahan pangan. Produktivitas bawang merah nasional rata-rata tertahan di kisaran 8–11 ton per hektare.

Tantangan yang kerap muncul adalah keterbatasan ketersediaan umbi sebagai bibit, kualitas yang tidak seragam, membutuhkan ruang penyimpanan bibit yang besar serta tingginya serangan penyakit.

Pemerintah Diminta Kawal Ketat Kebijakan Cukai dan Berantas Rokok Ilegal

Rumah Bawang, sebuah learning farm yang diinisiasi PT East West Seed Indonesia (Ewindo) di lahan seluas 1 hektare yang berlokasi di Cimaung, Bandung, Jawa Barat, menerima kunjungan 80 orang delegasi dari 20 negara dalam rangkaian acara International Symposium on Edible Alliums IX, yang digelar IPB University bersama International Society for Horticultural Science (ISHS).

Peserta mancanegara di antaranya berasal dari Jepang, Korea Selatan, Prancis, Amerika Serikat (AS), Norwegia, Belanda, India, Filipina dan Italia datang ke Rumah Bawang untuk mendapatkan pengalaman secara langsung bagaimana Ewindo memfasilitasi transfer pengetahuan komprehensif kepada petani tentang budidaya bawang merah dari biji (True Shallot Seed/TSS) – terobosan yang mampu menjawab masalah dihadapi petani sekaligus membuka peluang peningkatan daya saing Indonesia di sektor pertanian.

Sambut Musim Tanam, Pupuk Indonesia Sediakan 11.384 Ton Pupuk Subsidi di Sultra

Melalui pengembangan varietas unggul, Ewindo memperkenalkan metode budidaya bawang merah dari biji, bukan umbi bibit.

Hasil di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan TSS mampu meningkatkan produktivitas rata-rata hingga lebih dari 25 ton per hektare, dengan kualitas hasil yang lebih seragam dan lebih tahan penyakit.

“Inovasi ini memberikan hasil sangat signifikan. Petani tidak hanya memperoleh panen lebih tinggi, tetapi juga lebih stabil. Dari sisi distribusi, benih dalam bentuk biji lebih mudah didistribusikan, disimpan dan dapat menjangkau wilayah yang selama ini sulit diakses oleh pasokan umbi,” ujar Glenn Pardede, Managing Director Ewindo.

Dengan TSS maka petani membutuhkan waktu penyemaian benih sekitar 30 hari. Penggunaan TSS dapat meningkatkan keuntungan petani terutama karena biaya pembelian umbi bibit yang relatif mahal dapat ditekan.

Jika pada metode tradisional petani membutuhkan 1,5–2 ton umbi per hektare sebagai bibit dengan biaya Rp40-60 juta, maka dengan TSS kebutuhannya hanya 3-4 kg biji per hektare senilai Rp12-16 juta.

Namun, jika tak ingin menyemai sendiri, petani dapat memanfaatkan umbi bibit dari sistem TSS yang dikembangkan oleh petani penyemai dengan kisaran biaya Rp30 juta per hektare.

Hal ini berdampak pada potensi penghematan biaya produksi hingga kisaran 25-50 persen dibanding menanam dengan umbi.

Efisiensi input ini memberi ruang lebih besar bagi petani untuk mengalokasikan modal ke pupuk, teknologi irigasi, atau tabungan keluarga. Suasana kunjungan semakin hidup saat delegasi melakukan dialog langsung.

“Kami terkesan melihat bagaimana inovasi TSS ini dapat mengubah kehidupan petani. Ini merupakan pengalaman belajar yang berharga bagi negara kami,” ungkap Ferdinando Branca, ISHS Chair Division of Vegetables, Roots and Tubers, dari University of Catania, Italia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya