Starlink Milik SpaceX bikin Celaka Pesawat Komersil

Puing SpaceX di Australia.
Sumber :
  • Livescience.com

Jakarta, VIVA – Kita belum pernah melihat serpihan benda dari luar angkasa jatuh menghantam pesawat terbang. Tetapi, jika hal itu terjadi, konsekuensinya hampir pasti akan sangat dahsyat – dan menurut sebuah studi baru, bahaya yang dihadapi pesawat terus meningkat.

Pesawat Mewah dari Qatar Senilai Rp 6,5 Triliun untuk Presiden AS Sudah Mendarat di Bandara Texas

Para peneliti dari Universitas British Columbia, Kanada, mengamati data penerbangan di seluruh dunia untuk memodelkan distribusi pesawat di langit, lalu membandingkannya dengan catatan masuk kembali badan roket yang tidak terkendali.

Meningkatnya risiko juga didorong sebagian oleh penyebaran satelit massal, seperti Starlink milik SpaceX, yang pada akhirnya akan memasuki kembali wilayah udara di Bumi, seperti dikutip dari Sciencealert.

Pilot Pingsan, Pesawat dari Jerman ke Spanyol Terbang Sendiri Selama 10 Menit

Seiring dengan semakin banyaknya satelit dan roket yang dikirim ke orbit rendah Bumi, dan semakin banyaknya pesawat yang mengudara, maka kemungkinan terjadinya tabrakan pun semakin besar.

"Meskipun kita memiliki teknologi untuk melacak jatuhnya puing-puing benda dari luar angkasa sampai batas tertentu, namun, masih menjadi perhatian utama. Wilayah dengan kepadatan tertinggi, di sekitar bandara, misalnya, memiliki dampak yang 'tidak terkendali'," kata para peneliti.

Candaan Presiden Afrika ke Trump: Maaf Saya Tidak Punya Pesawat untuk Diberikan

Angka ini meningkat hingga 26 persen untuk wilayah udara yang lebih besar tetapi masih sibuk, seperti yang terdapat di Amerika Serikat (AS) bagian timur laut, Eropa utara, atau di sekitar kota-kota besar di kawasan Asia-Pasifik.

Menurut The Aerospace Corporation, kemungkinan tabrakan pesawat yang fatal dengan benda yang jatuh dari luar angkasa mendekati 1:100 ribu pada 2021. Terlebih lagi, bahkan bongkahan terkecil dari roket atau satelit yang terbakar dapat menjatuhkan pesawat – sehingga sulit untuk menjamin keselamatan penumpang.

Perkiraan menunjukkan bahwa sesuatu sekecil satu gram dapat menyebabkan kerusakan jika mengenai kaca depan atau mesin pesawat. Seiring dengan meningkatnya kemungkinan terjadinya gangguan, maka meningkat pula kemungkinan sebagian wilayah udara akan ditutup – yang kemudian menyebabkan wilayah udara lain menjadi lebih padat, atau penerbangan mengalami penundaan atau bahkan pembatalan.

"Situasi ini menempatkan otoritas nasional dalam dilema – apakah akan menutup wilayah udara atau tidak – dengan implikasi keselamatan dan ekonomi apapun," tulis para peneliti.

Membuat peta jalur masuk kembali untuk objek yang tidak terkontrol sering kali sulit, yang berarti sebagian besar wilayah udara perlu ditutup sebagai tindakan pencegahan. "Kita telah melihat hal ini terjadi, seperti pada badan roket Long March 5B milik China pada tahun 2022," tutur para peneliti.

Meski begitu, mereka mengatakan ada solusinya, yaitu menempatkan objek di langit dapat berinvestasi dalam roket yang dapat memasuki kembali atmosfer. Kendati teknologinya ini sudah ada, namun kurang dari 35 persen peluncuran saat ini memanfaatkannya, sehingga industri penerbangan menanggung beban keselamatan.

Berbagai upaya terus dilakukan untuk meningkatkan keselamatan, baik di dalam maupun luar atmosfer Bumi, tetapi upaya tersebut memerlukan dukungan dari lembaga pemerintah dan perusahaan swasta. Tidak perlu terjadi bencana untuk memaksa tindakan diambil.

"Lebih dari 2.300 badan roket sudah berada di orbit rendah Bumi dan pada akhirnya akan memasuki kembali orbit tanpa kendali. Otoritas wilayah udara akan menghadapi tantangan masuk kembali tanpa kendali selama beberapa dekade mendatang," jelas para peneliti.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya