RTS: Tantangan Baru E-Commerce di Indonesia
- KiriminAja
Jakarta, VIVA – Return to Sender (RTS) menjadi persoalan signifikan dalam dunia e-commerce yang kian berkembang di Indonesia. Di tengah pertumbuhan transaksi daring, tingginya tingkat retur menjadi bayangan bagi para pelaku usaha online.
RTS terjadi ketika paket tidak berhasil diterima oleh pembeli dan akhirnya dikembalikan ke penjual. Situasi ini menimbulkan beban tambahan, baik dari sisi biaya operasional maupun potensi kerugian penjualan.
Menurut laporan McKinsey, tingkat RTS di Asia Tenggara berkisar 15–20%, dua kali lebih tinggi dari rata-rata ritel konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa hampir satu dari lima pengiriman berisiko gagal sampai tujuan.
Masalah RTS bukan hanya soal ongkos kirim balik, tetapi juga potensi kerugian inventori dan gangguan arus kas. Produk yang kembali belum tentu bisa dijual kembali, terutama jika berkaitan dengan barang konsumsi atau kosmetik.
Bagi pelaku UMKM, setiap paket yang gagal terkirim berarti dana terhambat dan bisa merusak hubungan dengan pelanggan. “Konsumen yang kecewa karena paket tidak sampai bisa dengan mudah berpindah ke kompetitor,” ujar Fariz GTJ, CEO KiriminAja, dikutip dari keterangan resmi Rabu 9 Juli 2025.
Menjawab tantangan ini, KiriminAja mengembangkan sistem Return Management System (RMS) untuk mengelola potensi RTS sejak awal. Sistem ini mampu mendeteksi risiko kegagalan pengiriman secara real-time dan menyediakan solusi yang bisa langsung diambil oleh penjual.
Fitur-fitur seperti Undelivery dan Tiket Bantuan memberi akses langsung kepada seller untuk mengatasi kendala pengiriman dengan cepat. Selain itu, dashboard RMS juga menampilkan skor RTS dan penyebabnya, membantu seller memahami dan mengantisipasi masalah lebih akurat.
Dengan pendekatan proaktif ini, tingkat RTS di KiriminAja tercatat stabil di kisaran 8–9%, jauh di bawah rata-rata industri. “Kami tidak hanya mencatat paket yang gagal, tapi menjelaskan mengapa dan bagaimana mencegahnya,” kata Fariz.
