Ini Dia Kebijakan Pemerintah Mengelola Indonesia sebagai Lumbung Sains Dunia
- istimewa
Serang, VIVA – Fakta bahwa Indonesia dikenal sebagai lumbung ilmu pengetahuan dunia, dapat ditelusuri antara lain dari jejak penelitian ilmuan asal Inggris, Alfred Russel Wallace di Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Jawa dan Sumatera pada abad ke-19, hingga melahirkan Garis Wallace dan Garis Weber yang terkenal itu.
Demikian itu dikisahkan Amich Alhumami, Deputi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, untuk menggugah wawasan dan pengetahuan masyarakat Indonesia terhadap daya saing ekonomi dan sumber daya manusia (SDM) pada sesi pidato ilmiah wisuda gelombang ke-3 di Auditorium Untirta di Kabupaten Serang, Provinsi Banten (22/06/2025).
Berdasarkan pencapaian ekonomi dan pendapatan per kapita dalam perbandingan negara maju dan berkembang, sebut Amich, terdapat tiga faktor kunci kemajuan ekonomi. Terdiri dari SDM unggul, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), serta riset-inovasi.
“Ketiganya menjadi total factor productivity daya saing negara. Kontribusi penelitian Alfred Russel Wallace di Nusantara pada abad ke-19 dapat menjadi salah satu sumber inspirasi untuk menggabungkan ketiga faktor tersebut,” terang Amich Alhumami.
Sumber inspirasi daya saing Indonesia
Dalam Geografi Indonesia, Garis Wallace dan Garis Weber merupakan garis imajiner yang membagi wilayah Indonesia berdasarkan persebaran flora dan fauna. Kedua garis ini berfungsi sebagai pengetahuan sejarah alam dan distribusi spesies di Indonesia.
Garis Wallace untuk mengidentifikasi fauna Indonesia bagian barat dan tengah. Sedangkan Garis Weber untuk mengidentifikasi karakteristik fauna bagian tengah dan timur di Indonesia.
Bagi Amich Alhumami, temuan penelitian Wallace merupakan salah satu sumber penting bagi pengembangan Iptek dan inovasi Indonesia yang relevan dengan arah kebijakan SDM, sektor unggulan, dan koridor ekonomi kewilayahan negeri ini.
“Penelitian Wallace di Maluku dan di sejumlah daerah kawasan tengah, barat, dan timur Indonesia tentang spesimen dan keanekaragaman flora dan fauna dimana dia telah berkorespondensi dengan Charles Darwin, menjadi lompatan perkembangan ilmu pengetahuan dunia modern yang menjadikan Indonesia sebagai lumbung ilmu pengetahuan dunia,” terang Amich di hadapan 711 wisudawan dan ratusan sivitas akademik Untirta.
Selain pengetahuan sejarah alam dan distribusi spesies di Indonesia yang dikonfirmasi melalui jejak penelitian Wallace, masih ada sejumlah sumber inspirasi sekaligus kekuatan Indonesia untuk meningkatkan akses, kualitas dan relevansi perguruan tinggi-Iptek dengan SDM, ekonomi, geografi, atau geografi ekonomi di Indonesia sebagai daya saing nasional.
Di antara kekuatan lainnya, rinci Amich, Indonesia menjadi salah satu eksportir penting di pasar global; variasi komoditas Indonesia yang lengkap, mulai dari bahan mentah dimana di antaranya berupa komoditi ekspor terbesar di dunia hingga produk manufaktur; negeri ini memiliki SDM produktif dan merupakan negara dengan demografi terbesar ke-4 di dunia.
Sumber inspirasi sekaligus kekuatan lainnya, lanjut Amich Alhumami, bertitik tolak dari posisi strategis geografi Indonesia di antara Benua Asia dan Australia dan Samudera Hindia dan Pasifik dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dimana wilayah perairannya mencakup sekitar dua pertiga dari total wilayah negara.
“Dapatkah dibayang kemajuan Indonesia jika semua kekuatan itu dikonsolidasikan ke dalam kebijakan dan praktik pendidikan tinggi, Iptek, riset, dan inovasi” gugah Ketua Gugus Kerja Manajemen Talenta Nasional RI ini.
Belajar dari STEM dan koridor ekonomi China dan Korsel
Dalam rangka mengonsolidasikan sejumlah kekuatan itulah, sambung Amich Alhumami, kebijakan pendidikan tinggi-Iptek pada rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2025-2029, diarahkan untuk meningkatkan relevansi dan akses pendidikan berkualitas yang merata; pengembangan STEAM (science, technology, engineering, arts, mathematics); peningkatan produktivitas, daya saing dan kemampuan kerja lulusan perguruan tinggi; serta daya saing perguruan tinggi.
Relevansi pendidikan tinggi-Iptek dengan berbagai arah kebijakan tersebut dapat ditemukan, antara lain pada replikasi zona ekonomi China seperti di Shanghai, Shenzhen; atau di Korea Selatan (Korsel) dapat dijumpai di Incheon dan Busan.
“Terdapat penguatan peran perguruan tinggi sebagai center of excellence untuk mengisi pusat pertumbuhan kawasan industri per wilayah atau koridor ekonomi mereka,” imbuh Amich Alhumami.
Sebagaimana pengalaman di China dan Korsel, pengembangan program studi (prodi) berbasis science, technology, engineering, mathematics (STEM) berkontribusi terhadap pengembangan kuantitas dan kualitas ilmuan atau peneliti di Indonesia, jika prodi STEM dikembangkan.
Arus pengembangan STEM yang sejalan dengan pengembangan sektor ekonomi unggulan dan koridor ekonomi kewilayahan, lanjut Amich Alhumami, menjadi faktor pembeda mengapa dominasi ekonomi global berpindah ke Asia Timur, seperti ke China dan Korsel.
“Kebijakan nasional pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melakukan hal yang sama, karena Indonesia menjadi lumbung ilmu pengetahuan dunia dan salah satu sumber kekayaan alam di dunia,” papar pria kelahiran Gresik 7 Juli 1965 itu.
Sejauh ini, proporsi bidang ilmu di perguruan tinggi Indonesia, sebut Amich, masih didominasi oleh ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora.
Data di Kedeputian PMK Bappenas 2024 menunjukan, jumlah prodi berbasis STEM hanya 13.047 prodi, sedangkan prodi non-STEM sebanyak 16.979 prodi. Kabar baiknya, prodi STEM di perguruan tinggi vokasi di Indonesia mencapai 4.359 prodi; lebih dibanyak dibanding prodi non-STEM sebanyak 1.644 prodi untuk satuan pendidikan tinggi serupa (vokasi).
Amich Alhumami, Deputi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Bappenas
- istimewa
“Pengembangan kuantitas dan kualitas bidang STEM menjadi salah satu concern Presiden Prabowo Subianto dengan memetakan potensi wilayah dan daerah untuk menentukan pusat keunggulan apa saja yang dibangun, sehingga daerah dapat mengembangkan bidang ilmu yang menjadi kebutuhan tenaga kerja dan pembangunan daerah; juga munculnya para ilmuan di daerah masing-masing” terang Amich Alhumami.
Pemerataan kualitas perguruan tinggi
Sejauh ini—menggunakan baseline 2024—kualitas perguruan tinggi masih jauh dari pemerataan. Data di Kedeputian PMK Bappenas menunjukan, proporsi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang berkualifikasi pendidikan tinggi baru 10,15 persen.
Targetnya pada 2025 ini, sebut Amich yang juga Ketua Kelompok Kerja Transformasi Sosial pada Tim Pelaksana Koordinasi Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 dan RPJMN 2025–2029, mencapai 11,11 persen dan pada 2029 mencapai 12,68 persen.
Untuk pendidikan berkualitas yang merata, terdapat sejumlah arah dalam RPJMN 2025-2029. “Mencakup peningkatan relevansi dan perluasan akses pendidikan tinggi; pengembangan STEAM; penguatan otonomi perguruan tinggi sebagai rumah masyarakat ilmiah; serta peningkatan kualitas dan pengelolaan dosen,” rinci Amich.
Signifikansi penguatan otonomi perguruan tinggi sebagai rumah masyarakat ilmiah, terang Amich, bertitik tolak dari isu strategis sistem dan ekosistem Iptek-inovasi, yaitu terdiri Budaya, Iklim, dan Perilaku Ilmiah; Sumber Daya yang mencakup SDM, sarana dan prasarana, dan anggaran; Kelembagaan yang mencakup tata kelola dan proses bisnis; serta Jaringan.
“Kelembagaan, Sumber Daya, dan Jaringan adalah komponen Sistem Inovasi Nasional yang pada periode sebelumnya telah ditetapkan dalam Buku Putih Iptek 2005-2025, tetapi tentang Budaya, Iklim, dan Perilaku Ilmiah yang merupakan Roh Penggerak Sistem, selama ini sering terlupakan, sehingga perlu ditambahkan dan dibudidayakan,” papar Amich Alhumami.
Iptek, inovasi dan produktivitas ekonomi
Relevansi Iptek, inovasi dan produktivitas ekonomi yang diperankan perguruan tinggi, dalam RPJMN 2025-2029 diarahkan pada penguatan pendidikan tinggi vokasi serta penguatan perguruan tinggi sebagai pusat keunggulan serta inovasi berbasis kewilayahan dan berdaya saing.
Penguatan pendidikan tinggi vokasi, terang Amich Alhumami, mencakup relevansi kurikulum dan kualitas pembelajarannya; peningkatan kompetensi serta mobilitas dosen dan instruktur pendidikannya; serta sertifikasi kompetensi mahasiswa pendidikan tinggi vokasi.
“Selain itu, mencakup juga kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan tinggi vokasi serta adanya penyelenggaraan pendidikan tinggi vokasi di sektor strategis,” papar Amich, yang juga Sekretaris Eksekutif Center for Policy and Development Studies (CPDS) 1990–1995 ini, wadah pemikir yang dulunya disponsori oleh Dewan Pembina Mayjen TNI Prabowo Subianto.
Adapun penguatan perguruan tinggi sebagai pusat keunggulan serta inovasi berbasis kewilayahan dan berdaya saing, dalam RPJMN 2025-2029 diarahkan minimal kepada dua upaya.
Pertama, rinci Amich Alhumami, pada pengembangan pusat keunggulan serta peningkatan produktivitas riset dan inovasi pada perguruan tinggi. Kedua, peningkatan hilirisasi dan komersialisasi produk riset dan inovasi perguruan tinggi. Semua ini membutuhkan peningkatan jumlah SDM riset atau ilmuan.
Sejauh ini, catat Amich, rasio peneliti atau ilmuan Indonesia per 1 juta penduduk baru mencapai 1.070 orang, tertinggal ke belakang dibanding negara sahabat di Asia.
“Tetangga terdekat di Malaysia mencapai 2.590 orang dan Singapura 7.115 orang. Jepang sudah mencapai 5.570 orang dan Korsel punya 8.105 ilmuan per 1 juta penduduknya,” lanjut Wakil Ketua I/Penanggungjawab Pilar Pembangunan Sosial pada Tim Pelaksana Nasional dan Sekretariat Nasional Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SGD’s) ini.
Pencapaian Iptek, inovasi dan dan produktivitas ekonomi, dapat dikonfirmasi dari peringkat Indeks Inovasi Global.
“Posisi Indonesia sejuah ini berada di peringkat 54. Target pemerintah RI pada 2025 naik ke peringkat 53 dan pada tahun 2029 sudah naik ke peringkat 49,” imbuh doktor Social Anthropology University of Sussex, UK ini.