Penyintas Jangan Putus Asa! Ternyata, Dua Tipe Kanker Payudara Ini Tingkat Kesembuhannya Capai 99 Persen

Ilustrasi kanker payudara.
Sumber :
  • Pixabay/pexels

Jakarta, VIVA – Kanker payudara menjadi jenis kanker terbanyak yang diderita perempuan Indonesia. Hal tersebut merujuk pada data Globocan 2022, di mana terdapat 66.271 atau 30,1 persen kasus dengan angka kematian 22.598 atau 9,3 persen, akibat kanker payudara di Indonesia.

BPOM Cabut Izin 34 Kosmetik Berbahaya yang Picu Alergi hingga Kanker, Ini Daftarnya

Dokter Spesialis Bedah Onkologi MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, Dr. dr. Denni Joko Purwanto, SpB.Subs.Onk(K) menjelaskan pentingnya Multidisiplin Tim (MDT) yaitu kolaborasi antara dokter bedah, dokter patologi, dokter radiologi, dokter umum hingga perawat di Indonesia untuk bisa mendeteksi kanker payudara stadium awal sehingga meningkatkan peluang kesembuhan pasien. Scrolll untuk informasi selengkapnya!

Cara ini perlu dilakukan mengingat jumlah dokter di Indonesia masih terbatas dan belum merata di berbagai daerah, sehingga perlu dibuat pedoman dan panduan di setiap rumah sakit.

Kanker yang Diidap Makin Menyebar, Vidi Aldiano: Tidak Sesuai dengan Ekspektasi Aku

"Kita tahu bahwa kanker ini, kita memerlukan yang paling pertama adalah pemeriksaan klinis yang baik, yaitu tentu deteksi dini, dokternya, radiologi ada, patologinya sampai pemeriksaan molekuler yang idealnya. Kemudian, perawat sampai onkologis (dokter onkologi) lain, itulah dimaksud MDT. Ini bisa dibuat di setiap rumah sakit dan bisa membuat panduan praktik ini yang cocok di rumah sakit  tersebut, mudah-mudahan ini bisa tercapai semuanya," kata Dr. Denni dalam keterangannya, dikutip Rabu 5 Maret 2025. 

Ilustrasi kanker payudara

Photo :
  • Pixabay/pexels
Vidi Aldiano Angkat Bicara Soal Gugatan Hak Cipta di Tengah Perjuangan Melawan Kanker

Dr. Denni menambahkan, peluang 'remisi' alias kesembuhan pasien kanker payudara akan sangat tinggi bila ditemukan pada tahap stadium awal. Ia mencontohkan, ada beberapa tipe kanker payudara yang bisa dicegah bila terindikasi kanker, dengan berbagai metode pemeriksaan seperti core biopsi, vacuum assisted breast biopsy (VABB) hingga prosedur eksisi.

"Kita bisa mendapatkan angka-angka, misalnya hiperplasia atipikal (proses sel normal berubah jadi sel abnormal), di mana itu akan menjadi kanker 14 persen, dalam 5 hingga 10 tahun. Bayangkan sudah bisa cegah, berarti wanita itu bisa terbebas. Lalu karsinoma duktal in situ (sel abnormal di saluran susu payudara), di mana stadium 0 sehingga bisa ketahuan, tentu angka sembuhnya hampir pasti 99 persen," jelas Dr. Denni.

Di sisi lain, Dokter Spesialis Patologi Anatomi MRCCC Siloam Hospital Semanggi, dr. Fajar Lamhot Gultom, Sp.PA, menjelaskan pentingnya dokter umum memiliki pengetahuan dasar onkologi atau seputar kanker, mengingat perawat dan dokter umum jadi petugas medis pertama yang ditemui pasien.

"Dokter umum maupun perawat yang berada di ujung (awal bertemu pasien), bisa mengenali tanda-tanda benjolan yang dicurigai kanker atau tidak. Sehingga bisa memilah-milah kondisi pasien untuk segera periksa (lanjutan), hal seperti itu perlu diajarkan. Sehingga pemahaman dokter maupun tenaga kesehatan, lebih paham mengenali tumor atau benjolan cikal bakal kanker," papar dr. Fajar.

Di kesempatan yang sama, Perwakilan PT Roche Indonesia Pharmaceutical, Febby Ramaun mengungkapkan pentingnya kegiatan multidisiplin seperti EBC Academy Excellence untuk meningkatkan temuan kanker payudara stadium awal, dengan cara menekankan pemeriksaan komprehensif terhadap diagnosis dini. Harapannya, penanganan dan perawatan kanker payudara bisa menambah angka harapan hidup dan memperbaiki kualitas hidup para pasien di Indonesia. 

"EBC Academy Excellence juga sejalan dengan inisiatif yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) melalui Global Breast Cancer Initiative (GBCI). Inisiatif ini menekankan soal pentingnya diagnosis dini, dan memiliki target untuk menurunkan angka kematian akibat kanker payudara sebesar 2,5 persen per tahun, sehingga dapat menyelamatkan hingga 2,5 juta jiwa dalam dua dekade mendatang," jelas Febby.

Bukan sekadar periksa payudara sendiri (SADARI) dan pemeriksaan payudara klinis (SADANIS), lebih jauh dari itu, dr. Fajar mengingatkan perempuan untuk tidak termakan mitos seputar biopsi sebagai penyebab kanker atau membuat kanker menyebar lebih cepat. Ini karena jarum halus yang digunakan untuk prosedur biopsi tidak akan memengaruhi penyebaran sel kanker.

Biopsi sendiri merupakan prosedur medis untuk mengambil sampel jaringan, sel, atau cairan tubuh untuk diperiksa di laboratorium, termasuk untuk menegakkan diagnosis benjolan di tubuh pasien, apakah tumor jinak atau ganas alias kanker.

"Jadi memang kebanyakan dari orang awam yang ketakutan dan mengira setelah di biopsi kankernya bisa menyebar. Sampai sekarang tidak terbukti bahwa jarum halus akan menyebabkan penyebaran sel kanker, apalagi prosedur ini akan dilakukan dengan dokter yang kompeten," ungkap dr. Fajar.

Bahkan lebih jauh dari itu, saat biopsi dilakukan dengan cara pembedahan yaitu saat sampel jaringan yang diambil ada di bagian terdalam tubuh, hal tersebut juga tidak akan membuat sel kanker menyebar.

"Pembedahan akan dilakukan dengan dokter bedah yang kompeten, mereka sangat paham bagaimana pembedahan onkologi jadi tidak akan ada penyebaran. Jadi tidak perlu takut untuk melakukan biopsi kalau memang terindikasi," sambungnya.
 
Tidak berhenti di sana, setelah biopsi selesai lalu dinyatakan sebagai tumor ganas alias kanker, maka dokter akan melakukan pemeriksaan lanjutan, yaitu molekuler atau biomarker untuk menentukan risiko kanker seperti stadium, termasuk pengobatan yang perlu dijalani pasien.

"Begitu sudah tahu tumor ganas, lanjut lagi ke pemeriksaan molekulernya atau biomarkernya, untuk tahu pengobatan berikutnya," pungkas dr. Fajar.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya