Kenali SVT: Bahaya Detak Jantung Cepat yang Mengancam Hidup di Usia Muda
- chajamp dari Freepik
Jakarta, VIVA – Detak jantung yang tiba-tiba berdebar tanpa sebab yang jelas, terutama saat tubuh dalam keadaan istirahat, dapat menjadi sinyal awal adanya gangguan irama jantung atau aritmia. Meskipun sering dianggap sepele, gangguan tersebut bisa mengancam nyawa, terutama di usia muda yang tampaknya sehat. Kondisi ini berpotensi serius dan memerlukan penanganan medis yang tepat untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Gangguan jantung ini tidak hanya dialami kalangan lanjut usia, tetapi juga berpotensi terjadi pada orang yang masih muda. Salah satu aritmia yang kerap muncul adalah Supraventricular Tachycardia (SVT). Pada kondisi ini, jantung berdetak sangat cepat sering muncul tiba-tiba dan hilang sendiri, membuat ini susah untuk terdeteksi. Jika ini dibiarkan dalam waktu lama, komplikasinya dapat mengakibatkan gagal jantung, stroke, hingga kematian. Obat-obatan tidak bisa menuntaskan masalahnya, yang efektif mengatasi SVT adalah prosedur ablasi.
Terkait permasalahan ini, Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Subspesialis Aritmia dari RS Siloam TB Simatupang, dr. Dony Yugo Hermanto, Sp.JP (K), FIHA, menjelaskan lebih lanjut mengenai aritmia khususnya SVT.
dr. Dony Yugo Hermanto, Sp.JP (K), FIHA
- RS Siloam
Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Subspesialis Aritmia dari RS Siloam TB Simatupang, dr. Dony Yugo Hermanto, Sp.JP (K), FIHA
Aritmia dan Cara Mandiri Deteksi Awal
Dikutip dari Cleveland Clinic, sekitar 1,5 – 5 persen orang diperkirakan mengalami aritmia. Namun, karena sebagian penderita tidak menunjukkan gejala, jumlah pasti kasus aritmia sulit untuk dipastikan.
“Aritmia merupakan gangguan pada irama pada jantung. Secara umum, aritmia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: irama jantung yang lebih cepat dari normal (tachycardia), lebih lambat dari normal (bradycardia), dan irama yang tidak beraturan (flutter),” ujar dr. Dony.
Jika Anda mencurigai adanya aritmia, detak jantung dapat diperiksa secara mandiri. Dalam kondisi tubuh beristirahat, berikut adalah kisaran detak jantung normal yang bisa dijadikan acuan :
Kategori Kisaran Normal
Bayi yang baru lahir 100-160 BPM
Bayi usia 0-5 bulan 90-150 BPM
Bayi usia 6-12 bulan 80-140 BPM
Balita usia 1-3 tahun 80-130 BPM
Balita usia 3-4 tahun 80-120 BPM
Anak usia 6-10 tahun 70-110 BPM
Anak usia 11-14 tahun 60-105 BPM
Remaja usia ≥15 tahun 60-100 BPM
Dewasa usia 20-35 tahun 95-170 BPM
Dewasa usia 35-50 tahun 85-155 BPM
Lansia usia ≥60 tahun 80-130 BPM
Lebih jauh, dr. Dony menjelaskan bahwa cara mengukur detak jantung per menit dapat dilakukan dengan meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada nadi di bagian dalam pergelangan tangan. Hitung denyut selama 15 detik, lalu kalikan hasilnya dengan 4 untuk memperoleh jumlah denyut jantung dalam satu menit.
SVT dan Permasalahannya
Supraventricular tachycardia (SVT) adalah jenis aritmia yang sering terjadi, biasanya sudah ada sejak lahir namun gejalanya baru muncul saat remaja atau dewasa muda. “SVT ditandai dengan detak jantung yang sangat cepat, lebih dari 150 denyut per menit (BPM), yang bisa membuat penderita merasakan jantung berdebar kencang. Meskipun jantung berdebar saat berolahraga atau melakukan aktivitas fisik adalah hal yang normal, detak jantung yang cepat secara tiba-tiba saat sedang beristirahat atau duduk tenang harus diwaspadai. Jika ini terjadi, segera konsultasikan dengan dokter, karena bisa menjadi tanda adanya gangguan jantung yang serius,” terang dr. Dony.
Penyebab Terjadinya SVT
SVT dapat dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya adalah proses degeneratif akibat penuaan yang menyebabkan perubahan pada struktur jantung.
Struktur jantung bisa dianalogikan seperti sistem kelistrikan, yang terdiri dari satu generator dan satu jalur kabel. Dalam kondisi normal, sistem ini bekerja secara terkoordinasi. Namun, jika terdapat dua generator atau dua kabel penghantar sinyal, sistem akan mengalami gangguan. Kondisi inilah yang dapat memicu gangguan irama jantung, termasuk kelainan bawaan sejak lahir.
Gejala dan Diagnosis
SVT biasanya ditandai dengan jantung yang berdebar kencang secara tiba-tiba. Beberapa pasien hanya merasakan ketidaknyamanan di dada, tanpa menyadari bahwa detak jantung mereka meningkat drastis, bahkan saat tubuh sedang beristirahat. Misalnya, denyut nadi yang awalnya 60 BPM bisa melonjak menjadi 82 BPM, lalu tiba-tiba mencapai 150 BPM, sebelum akhirnya berhenti secara mendadak.
Gangguan irama ini sering kali berlangsung singkat, antara 2 hingga 3 jam, dan menghilang secara spontan. Selama episode berlangsung, pasien mungkin juga mengalami sensasi ingin muntah atau batuk. Namun, karena gejalanya sering sudah hilang saat pasien tiba di rumah sakit, pemeriksaan medis tidak selalu mendeteksi adanya kelainan, sehingga hasilnya tampak normal.
Oleh karena itu, saat Anda mengalami jantung berdebar, segera ukur dan catat detaknya menggunakan smartwatch atau alat pemantau lainnya. Deteksi mandiri ini dapat menjadi data penting yang mendukung dokter dalam menentukan diagnosis secara tepat.
Dalam kasus SVT, dokter biasanya memerlukan pemantauan aktivitas jantung jangka panjang (cardiac monitoring). Untuk menegakkan diagnosis, pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan alat rekam jantung yang disebut elektrokardiogram (EKG).
Pencegahan
Hingga kini, penyebab pasti SVT belum diketahui, sehingga belum ada langkah pencegahan yang spesifik. Beberapa orang beranggapan bahwa konsumsi kopi bisa memicu SVT, karena kandungan kafein memang dapat menyebabkan jantung berdebar pada sebagian orang yang sensitif. Namun, biasanya debaran akibat kafein masih tergolong normal dan tidak termasuk gangguan jantung. Sementara itu, SVT memiliki spektrum gejala yang lebih luas. Langkah terbaik yang dapat Anda lakukan adalah menjalani pemeriksaan dini ke dokter untuk mendapatkan diagnosis yang tepat.
Komplikasi
Jika supraventricular tachycardia (SVT) tidak segera ditangani, ada tiga potensi komplikasi serius yang dapat terjadi. Pertama, denyut jantung bisa meningkat secara ekstrem hingga menyebabkan pingsan. Pada umumnya, penderita SVT mengalami denyut nadi antara 180-220 BPM, namun dalam beberapa kasus, detaknya bisa mencapai 250 BPM atau lebih, yang dapat menyebabkan hilangnya kesadaran.
Kedua, pada kasus kelainan irama jantung bawaan tertentu, denyut jantung dapat melonjak hingga 300 BPM. Kondisi ini sangat berbahaya karena dapat memicu kematian mendadak.
Ketiga, jika gangguan irama berlangsung dalam jangka panjang, kondisi ini berisiko berkembang menjadi gangguan irama lain yang lebih kompleks, yaitu atrial fibrillation (AF). AF dapat meningkatkan risiko gagal jantung dan stroke pada penderitanya.
Untuk mencegah komplikasi, SVT dapat ditangani melalui prosedur medis yang disebut ablasi, yang bertujuan mengatasi jalur listrik abnormal di jantung secara permanen.
Prosedur Ablasi
SVT terjadi akibat adanya generator atau jalur listrik tambahan di jantung yang memicu gangguan irama. Untuk mengatasi hal ini, dokter dapat melakukan prosedur ablasi, yaitu dengan mencari dan menonaktifkan jaringan listrik berlebih tersebut. Proses ini dilakukan dengan pemanasan menggunakan energi frekuensi radio (radio-frequency/RF) untuk menghentikan aktivitas listrik abnormal di area yang bermasalah.
Tingkat keberhasilan
Prosedur ablasi memiliki tingkat efektivitas yang tinggi dalam mengatasi SVT, yakni sekitar 90-95 persen. Sementara itu, pengobatan dengan obat-obatan bertujuan untuk menekan aktivitas listrik dari jalur atau generator tambahan di jantung, namun tidak menghilangkan sumber gangguan tersebut. Fungsi obat hanya mengontrol tapi tidak mengatasi masalah. Akibatnya, risiko kekambuhan tetap tinggi, dan efektivitas pengobatan dengan obat diperkirakan hanya sekitar 20 persen.
Indikasi
Jika pasien terdiagnosis positif mengidap SVT, ablasi menjadi pilihan utama sebagai pengobatan pertama. Prosedur ini lebih diutamakan karena memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengobatan menggunakan obat-obatan, yang biasanya diberikan sebagai langkah kedua.
“Keluhan SVT sering ditemui pada rentang usia 20-40 tahun, dengan banyak kasus terjadi pada kaum muda. Sayangnya, di Indonesia belum ada data statistik yang mencatat prevalensinya. Saat ini, belum ada pengukuran terkait jumlah kasus SVT dalam periode waktu tertentu. Pasien yang dapat menjalani prosedur ablasi bervariasi, mulai dari anak-anak hingga lansia. Di RS Siloam TB Simatupang, prosedur ablasi bisa dilakukan pada anak berusia 5 tahun hingga pasien berusia lebih dari 70 tahun,” jelas dr. Dony.
Tindakan
Ablasi bukanlah operasi dengan pembelahan dada (torakotomi). Pasien diharuskan untuk berpuasa selama delapan jam sebelum prosedur ablasi dilakukan. Prosedur ini dilakukan dengan menggunakan bius lokal, sehingga pasien tetap dalam keadaan sadar selama tindakan ablasi. Namun, pada pasien balita, anestesi umum akan diterapkan.
Selama tindakan, kateter dimasukkan melalui pangkal paha. Kateter yang berukuran sebanding dengan diameter pulpen ini akan melewati pembuluh darah besar menuju jantung. Setelah itu, dokter akan mengidentifikasi dan mengatasi bagian yang bermasalah yang menyebabkan gangguan irama jantung. Prosedur ini biasanya berlangsung selama 2 hingga 3 jam.
Pasca Tindakan
Setelah prosedur ablasi, pasien akan menjalani observasi selama 12 hingga 24 jam. Keesokan harinya, pasien diperbolehkan pulang. Kemungkinan munculnya kembali gangguan irama jantung setelah prosedur sekitar 5% hingga 10%. Jika gejala kembali muncul, pasien dapat kembali kontrol ke dokter.
Risiko Tindakan
Dalam prosedur ini, dokter akan menghancurkan bagian kecil jaringan jantung yang menjadi sumber gangguan listrik. Salah satu risiko yang mungkin terjadi adalah jika lokasi jaringan yang perlu dihancurkan berada terlalu dekat dengan jalur utama sistem listrik jantung. Bila jalur utama ini terkena panas saat proses ablasi, fungsi penghantar listrik jantung bisa terganggu. Jika hal tersebut terjadi, dokter mungkin perlu memasang alat pacu jantung di bawah kulit untuk membantu mengatur detak jantung secara normal.
Selain itu, area pangkal paha yang digunakan untuk memasukkan kateter berisiko mengalami pembengkakan pasca tindakan ablasi. “Prosedur ablasi menggunakan teknologi pemetaan jantung dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D). Meskipun sebagian besar prosedur menggunakan pemetaan 2D, pemetaan 3D menawarkan detail yang lebih mendalam, sehingga memungkinkan tindakan yang lebih akurat. Teknologi 3D ini umumnya digunakan untuk kasus-kasus yang lebih kompleks. Saat ini, RS Siloam TB Simatupang telah dilengkapi dengan peralatan terbaru tiga dimensi untuk melaksanakan prosedur ablasi tersebut,” ujar dr. Dony.