- VIVA.co.id/Syaefullah
VIVA.co.id – Hari itu, Kamis 11 Agustus 2016. Terik mentari menyoroti halaman parkir di gedung Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. Rombongan VIVA.co.id, tengah bersiap memasuki gedung tempat para penyidik korps Bhayangkara mengusut berbagai tindak pidana.
Di dalam gedung, kami disambut penjaga untuk memeriksa barang bawaan, demi menjamin tak ada benda terlarang dan berbahaya. Selepas itu, kami berjalan melewati lorong berliku, lebarnya pas untuk dua orang jalan berpapasan.
Di ujung lorong, jeruji besi menjadi sekat ruangan berukuran 5 x 8 meter persegi. Di dalam ruangan itu, meja dan kursi panjang tengah menanti. Ruang itu khusus disediakan bagi tahanan di sel Mabes Polri, untuk berkumpul dengan pembesuk.
Ruang itu lembab. Cahaya mentari pun tak mampu menyusup. Di sebelah, tampak beberapa orang sedang bercengkerama. Sepertinya seorang tahanan sedang melepaskan rindu dari keluarganya.
Tak lama menunggu, tiga orang dengan baju jingga khas tahanan polisi, dan celana pendek menghampiri meja panjang tempat kami duduk. Seorang pria bertubuh gempal, rambut sedikit ikal, dengan berewok yang telah memutih di wajahnya. Ia menyodorkan tangannya pada salah satu pria pendamping kami.
“Bagaimana kabarnya?” sapa pria baya itu, sambil memeluk erat pendamping kami.
Kemudian, pria baya itu beralih menawarkan tangannya untuk berjabat tangan dengan kami.
“Bagaimana kabarnya Mas? Saya Mussadeq,” pria itu memperkenalkan diri sebagai Abdussalam alias Ahmad Mussadeq, guru spiritual Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar.
Kemudian, dua pria lainnya yang keluar mengikuti di belakang Mussadeq ikut menyodorkan tangan. Pria pertama memperkenalkan diri sebagai Mahful Muis Tumanurung, Wakil Presiden organisasi Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara. Sementara pria terakhir Andry Cahya, Presiden Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara.
Pidana Petinggi Gafatar
Ketiganya merupakan petinggi Gerakan Fajar Nusantara yang sedang ditahan karena disangka melakukan penistaan agama dan perbuatan makar. Di ruang besuk itu, Mussadeq menegaskan, dia tak pernah punya niat untuk menodai agama atau melawan ideologi negara.
"Saya baru tahu sekarang, kalau kita mempunyai keyakinan yang berbeda dengan mainstream dan berbicara di muka umum itu, kita kena Pasal 156 (KUHP) karena dianggap menodai keyakinan dan melakukan penistaan terhadap agama," ucap Mussadeq.