5 Fakta Kasus Sengketa Tanah Warisan Ashanty, Bertahun-tahun Belum Ada Titik Terang
- ist
VIVA – Penyanyi Ashanty tengah menghadapi persoalan hukum yang pelik terkait tanah warisan dari ayahnya di kawasan Cinangka, Depok. Lahan seluas ribuan meter persegi ini telah menjadi pusat sengketa setelah ditemukan adanya dua sertifikat kepemilikan yang bertentangan. Situasi semakin rumit ketika pihak lain yang mengklaim hak atas tanah tersebut menjualnya kepada pengembang perumahan.Â
Meskipun demikian, Ashanty menegaskan komitmennya untuk memperjuangkan hak keluarga secara tegas. Berikut adalah lima fakta utama dari kasus ini, yang telah berlangsung bertahun-tahun tanpa titik temu yang jelas seperti dirangkum dari berbagai sumber.
Dualisme Sertifikat Kepemilikan yang Menyulitkan Proses Hukum
Sengketa ini bermula dari tanah warisan yang seharusnya menjadi hak eksklusif Ashanty dan keluarganya. Namun, munculnya dua sertifikat kepemilikan berbeda telah memicu konflik berkepanjangan. Ashanty mengungkapkan bahwa keluarganya telah mengetahui masalah ini sejak beberapa tahun lalu.Â
"Sudah 3-4 tahun lalu kalau rembukan, dari sebelum COVID malah," ungkap Ashanty di kawasan Cinangka, Depok, Kamis 18 September 2025.Â
Lahan ini, yang terletak di wilayah strategis Depok, tidak hanya bernilai ekonomi tinggi tetapi juga memiliki makna sentimental bagi keluarga. Ashanty menekankan bahwa ukuran lahan bukanlah isu utama, melainkan prinsip hak kepemilikan.Â
"Mau berapa ribu meter atau ratus meter pun, kalau namanya hak ya udah hak ya," ujarnya menegaskan.Â
Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN), kasus sertifikat ganda seperti ini sering terjadi di kawasan suburban Jakarta, dengan ratusan laporan serupa setiap tahunnya.
Penjualan Tanah ke Pengembang Perumahan Memperburuk Situasi
Kompleksitas kasus bertambah ketika pihak yang mengklaim kepemilikan menjual lahan tersebut kepada pengembang untuk proyek perumahan. Langkah ini dianggap merugikan oleh Ashanty, yang menyatakan ketidakpatuhannya untuk menyerah begitu saja.Â
"Aku akan berjuang terus, karena mau bangun perumahan kayak apa juga akan aku kejar terus," tegas istri Anang Hermansyah
Ia juga memperingatkan pengembang dan calon pembeli untuk berhati-hati dalam transaksi, mengingat potensi sengketa yang masih menggantung. Kawasan Cinangka, dengan potensi pengembangan hunian berkelanjutan, semakin menarik bagi investor, tetapi kasus ini berpotensi menghambat proyek tersebut.Â
Dukungan dari suaminya, Anang Hermansyah, yang sedang fokus pada karir musik, turut memperkuat tekad Ashanty dalam menghadapi tantangan ini.
Upaya Mediasi yang Berulang Namun Belum Berhasil
Ashanty telah berulang kali mencoba menyelesaikan perkara melalui jalur mediasi, termasuk keterlibatan almarhum ayah sambungnya di masa lalu. Meskipun demikian, upaya tersebut belum membuahkan hasil yang memuaskan.Â
"Aku tidak mau kayak, 'Oh, itu punya aku, kamu enggak bisa dapat apa-apa,' enggak. Oke, kalau kita punya sama-sama dua surat yang sama, ya ayo kita cari solusi," jelasnya.Â
Pihak lawan, menurut Ashanty, tidak menunjukkan itikad baik yang serupa, malah melanjutkan penjualan tanah secara sepihak.Â
"Aku nggak akan diem karena itu hak kita juga," sambung ibu sambung Aurel Hermansyah ini.Â
Proses mediasi ini mencerminkan pendekatan Ashanty yang berbasis pada prinsip keadilan, meskipun menghadapi hambatan signifikan. Sumber terdekat menyebutkan bahwa konsultasi dengan mediator profesional telah dilakukan, tetapi dialog tetap terhambat oleh ketidaksepakatan mendasar.
Keterbukaan terhadap Dialog, dengan Jalur Hukum sebagai Opsi Utama
Walaupun tegas dalam mempertahankan haknya, Ashanty tetap membuka peluang untuk dialog konstruktif.Â
"Oke kalau kita sama-sama punya surat yang sama ya ayo kita cari solusi, kita apa nih kalau memang lalu kita bagi dua atau memang kita gimana kan enak ya," tuturnya.Â
Namun, melihat kurangnya kemajuan, ia telah mengambil langkah hukum formal.Â
"Kita ajukan gugatan, kita juga udah lapor ke pertanahan ya, ke BPN (Badan Pertanahan Nasional) juga udah," tegas Ashanty.Â
Langkah ini mencakup pengajuan gugatan perdata dan laporan ke BPN untuk verifikasi sertifikat. Ashanty yakin bahwa proses hukum akan membawa keadilan.Â
"Percaya bahwa yang namanya kebenaran pasti akan menemukan jalan," tutupnya.Â
Kasus serupa di Indonesia sering kali memerlukan waktu panjang, dengan tingkat penyelesaian melalui mediasi hanya sekitar 40 persen menurut laporan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Fokus pada Prinsip Keadilan, Bukan Hanya Nilai Ekonomi
Bagi Ashanty, sengketa ini melampaui aspek finansial semata, melainkan menyangkut prinsip keadilan dan hak keluarga.Â
Ia telah menempuh berbagai prosedur administratif dan hukum untuk mempertahankan warisan tersebut, yang juga menjadi bagian dari sejarah keluarga.Â
Konsultasi dengan pengacara spesialis hukum pertanahan telah dilakukan, dengan kemungkinan sidang lanjutan dijadwalkan dalam waktu dekat. Kasus ini menjadi contoh nyata dari tantangan warisan di Indonesia, di mana dualisme dokumen sering kali memicu konflik berkepanjangan.