Fenomena Sanseito: Mengapa Anak Muda Jepang Tertarik pada Partai Populis Anti-Imigran?

Warga Jepang
Sumber :
  • Pixabay

Jepang,VIVA – "Dulu musik rock adalah simbol perlawanan terhadap sistem. Hari ini, politik adalah 'rock' baru. Senjata kami bukan gitar, melainkan kata-kata."

Itulah salah satu slogan unik yang digunakan oleh Sanseito, partai populis sayap kanan baru di Jepang yang tengah menyedot perhatian generasi muda. Didirikan pada masa awal pandemi COVID-19 tahun 2020, partai ini berkembang cepat dengan memanfaatkan rasa frustrasi publik terhadap kebijakan pemerintah, termasuk soal imigrasi, penanganan pandemi, dan konstitusi pascaperang.

Dilansir laman Jepang, Mainichi, Minggu 29 Juni 2025, tak hanya mengusung narasi anti-imigran, Sanseito—yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Party of Do it Yourself—juga lantang menyerukan revisi Konstitusi Jepang tahun 1947. Bahkan, sebagian pendukungnya mendorong kembalinya slogan era Kekaisaran Jepang seperti Hakko Ichiu yang pernah digunakan untuk membenarkan ekspansi militer ke Asia.

Tumbuh Lewat Kekecewaan dan Media Sosial

Dalam pemilu majelis rendah Oktober tahun lalu, Sanseito berhasil meraih tiga kursi. Kini, di bawah pimpinan Sohei Kamiya, mereka menargetkan enam kursi di pemilu majelis tinggi musim panas ini.

Popularitas Sanseito melejit seiring meningkatnya ketidakpuasan terhadap kondisi ekonomi Jepang dan jumlah turis asing yang memecahkan rekor. Banyak pendukungnya merasa orang asing kini mendapatkan perlakuan yang lebih baik daripada warga Jepang sendiri. Mereka khawatir budaya Jepang perlahan terkikis.

Perayaan Gadis Jepang Menjadi Dewasa Dengan Kimono

Photo :
  • VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi

Sanseito berakar kuat di media sosial. Kampanyenya menyatukan sentimen nasionalisme dengan krisis identitas dan kekhawatiran terhadap masa depan. Dalam berbagai forum diskusi partai, seperti yang terjadi di Prefektur Wakayama, banyak peserta yang mengusulkan perubahan konstitusi agar menyatakan bahwa "Jepang adalah milik rakyat Jepang" dan melarang kepemilikan lahan oleh orang asing.

“Sebelum menuntut hak, orang asing harus terlebih dahulu memenuhi kewajiban sebagai manusia,” ujar salah satu peserta perempuan.

“Benar. Jepang sudah seperti surga bagi orang asing,” tambah yang lain.

Daya Tarik di Kalangan Anak Muda

Fenomena mengejutkan adalah banyaknya anak muda Jepang yang justru merasa tersentuh oleh narasi Sanseito.

Seorang mahasiswa laki-laki berusia 18 tahun dari Prefektur Nara mulai mengenal partai ini dari ayahnya, tepat sebelum Pemilu 2022. Ia mengaku kecewa dengan pemerintahan Perdana Menteri Shigeru Ishiba.

“Orang Jepang sendiri kesulitan hidup, tapi pemerintah malah kirim uang ke luar negeri dan memberi fasilitas berlebihan pada orang asing,” ujarnya.

Ia tertarik pada seruan Sanseito untuk membatasi pembelian lahan oleh investor asing dan membatasi jumlah tenaga kerja asing di Jepang. Ia pun aktif menyebarkan selebaran partai saat upacara Coming-of-Age di Nara, meskipun hanya sedikit anak muda yang menerimanya. Tapi baginya, partai ini sudah mulai dikenal.

Dari Masker hingga Makanan Organik: Isu Populis yang Relevan

Pandemi juga menjadi celah bagi Sanseito untuk menarik simpati publik. Seorang siswi sekolah kejuruan berusia 19 tahun di Prefektur Wakayama menjadi pendukung partai karena merasa "terbebani" dengan kewajiban mengenakan masker.

Sanseito pada kampanye 2022 memang menawarkan "liberalisasi pemakaian masker" sebagai bagian dari kebijakan COVID-19 mereka. Gadis itu bahkan sempat melepas maskernya di sekolah meski ditegur oleh guru.

Bersama ibunya, ia aktif mengikuti kegiatan politik Sanseito. Ia mengagumi Sohei Kamiya, sang pemimpin partai, yang disebutnya memiliki karisma seperti idol Jepang.

“Kalau saya nonton pidato Pak Kamiya, saya sampai menangis. Saya penggemar beratnya.”

Orang tuanya pun percaya bahwa sejarah Jepang "dibelokkan" oleh pendudukan Sekutu pasca-Perang Dunia II.

“Konstitusi Jepang sekarang bukan ditulis oleh rakyat Jepang,” ujarnya. “Saya ingin generasi sekarang belajar sejarah yang benar.”

Tak hanya soal politik, ia juga mendukung kampanye partai mengenai keamanan pangan dan pentingnya produk organik. Ia menolak makan makanan cepat saji dan hanya memilih produk lokal Jepang.

“Semua makanan sekarang penuh bahan tambahan. Banyak yang impor. Sebagai orang Jepang, saya ingin makan makanan Jepang. Kita perlu meningkatkan swasembada pangan,” katanya.

Apa yang Perlu Diwaspadai dari Fenomena Ini?

Sanseito menunjukkan bagaimana populisme sayap kanan bisa tumbuh di negara yang relatif homogen seperti Jepang. Narasi anti-imigran, sentimen nasionalisme, ketidakpuasan ekonomi, hingga krisis identitas menjadi bahan bakar yang ampuh.

Meski partai ini masih kecil secara elektoral, meningkatnya dukungan dari kalangan muda—yang biasanya dianggap apolitis—menjadi sinyal peringatan bagi sistem politik Jepang.

Dengan retorika yang menyentuh ranah sejarah, budaya, dan rasa nasionalisme, Sanseito berhasil mengisi ruang kosong yang ditinggalkan partai-partai konvensional.

Refleksi dari Ketegangan Sosial

Tren Baru Pernikahan di Jepang: Gaya Foto-Only ala Korea Selatan Kian Populer

Sanseito bukan sekadar partai baru. Ia adalah refleksi dari ketegangan sosial yang tengah dirasakan banyak warga Jepang, terutama anak muda yang mencari identitas dan harapan di tengah ketidakpastian ekonomi, perubahan budaya, dan tantangan globalisasi.

Apakah mereka hanya fenomena sesaat? Atau cikal bakal perubahan politik yang lebih besar?

Kisah Para Peraih Beasiswa Berbuah Manis, Kini Sukses Berkarier di Luar Negeri

Waktu akan menjawab. Tapi satu hal pasti: suara anak muda kini mulai menggema di panggung politik Jepang—dan Sanseito berhasil menangkapnya.

Latihan Militer Laut China di Dekat Jepang Picu Kekhawatiran dan Protes
Makanan khas Jepang

Studi Terbaru: Pola Makan Tradisional Jepang Bantu Kurangi Risiko Depresi

Penelitian dilakukan terhadap 12.499 karyawan dari lima perusahaan besar di Jepang. Mayoritas peserta adalah pria (88 persen) dengan usia rata-rata 42,5 tahun.

img_title
VIVA.co.id
29 Juni 2025