I'm Not Gay
- REUTERS/Cathal McNaughton
Hari-hari berlalu, sampai saatnya aku berada dalam ruangan berisi mahasiswa jurusan PAC. Aku melihat ke sekelilingku, sungguh aku merasa tidak nyaman dan asing berada di kelas ini. Sepulang dari kampus, mama menghampiriku yang terbaring lemas di kasur.
“Bagaimana kuliahnya?” tanya mama sambil duduk di sampingku. Aku tidak menjawab. “Seru, kan? Dosennya asyik, kan?” tanya mama lagi. “Sok tahu sih Mama. Baru masuk saja sudah dapat tugas. Bikin film Ma. Kuliah macam apa itu?” aku mengadu pada mama. “Huu, bagus dong. Jadi kamu enggak bisa malas-malasan lagi. Oh iya, temannya asyik-asyik kan?” tanya mama lagi. “Ya, lumayanlah,” jawabku. “Kok lumayan? Coba dong bawa temannya ke sini. Kalau bisa sama pacarnya juga ya,” ledek mama. “Apa sih Ma? Pacar mulu. Masak aja sanaaa.” Aku berusaha mengusir mama. “Ya, sudah, mama masak dulu. Kamu jangan lupa mandi. Badannya bau tuh.” ledek mama lagi. “Iya mamaku sayang. Peluk dulu dong!” ucapku dengan manja.
Mama memelukku dengan penuh kasih sayang. Tiba-tiba terbersit kata-kata mama yang membuat diriku sedih. “Jangan tinggalin mama ya sayang. Jangan kecewain mama. Mama sayang banget sama kamu. Kamu satu-satunya harta mama yang paling berharga.”
Tetes air mata membasahi pipi mama, begitupun dengan aku. Namun, aku berusaha dengan sekuat hati menutupinya. Dengan tegar aku bertanya, “Kangen papa ya, Ma?” Mama semakin mendekap padaku seakan tidak ingin lepas. Mama tidak berniat untuk menjawab pertanyaanku, dan aku paham. Aku mengelus punggung mama. “Enggak usah nangis ya, Ma. Papa sudah bahagia di sana. Kalau mama nangis, nanti papa malah enggak tenang. Kan di sini masih ada Jaxon. Jaxon janji tidak akan ninggalin mama,” ujarku berusaha menenangkan mama.
Mama menghapus air matanya dan menarik nafas. “Siapa yang nangis sih? Mama enggak nangis kok,” ucap mama dengan suara sedikit terisak. Aku tersenyum dan mengerti kalau mama sedang menyembunyikan kesedihannya dengan berpura-pura kuat. “Jaxon janji enggak akan kecewain mama. Semampu Jaxon bakal membuat mama bangga,” ucapku lagi. “Ya sudah ah, enggak usah sedih-sedih lagi. Kayak anak kecil saja pakai nangis segala. Sekarang kamu mandi sana!” ucap mama dengan tegar. “Siap bos!” ucapku sambil memberi hormat kepada mama.